oleh :
Pdt. Dr. David Henry Parera, M.Th., M.M – Mantan Ketua OSIS SMA Kristen YPKPM Ambon 1990/1991)
Tujuh dekade kurang dua tahun. Angka 68 bukan sekadar usia kronologis, melainkan sebuah monument ketahanan dan dedikasi abadi dari sebuah lembaga yang telah menjadi mercusuar pendidikan di Maluku: SMA Kristen YPKPM Ambon. Sejak Tiang Pancang pertamanya didirikan, SMA Kristen YPKPM Ambon (SMAKIR) telah memegang teguh identitasnya: melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga berkarakter Kristiani yang kuat, berintegritas, dan bersemangat melayani masyarakat.
Secara rohani angka 68 membawa kita pada Mazmur 68, sebuah nyanyian kemenangan yang menonjolkan kebesaran, kekuasaan, dan keadilan Tuhan. Salah satu ayat kuncinya, Mazmur 68:6 (BIS), menyatakan: “Allah ada di kediaman-Nya yang suci; Ia Bapa bagi anak yatim, pembela bagi para janda.” Ini menegaskan bahwa Tuhan adalah pembela bagi mereka yang lemah dan terlantar. Makna teologis inilah – panggilan untuk keadilan dan pelayanan – yang harus menjadi visi 68 tahun SMA KRISTEN YPKPM. Hari jadi ini adalah momentum krusial untuk menelusuri jejak historis, menimbang kontribusi yang sudah diberikan, dan mengusulkan visi endidikan masa depan yang relevan dengan panggilan spiritual ini.
Kawah Candradimuka dan Gen Kepemimpinan
SMA Kristen YPKPM Ambon adalah saksi bisu dinamika sosial dan gejolak Maluku. Sekolah ini telah melewati masa- masa sulit, tetapi konsisten dalam menanamkan disiplin dan etos kerja. Saya sendiri merasakan penempaan karakter ini secara langsung.
Bagi saya pribadi, SMAKIR adalah kawah candradimuka yang tak terbayarkan. Puncaknya terjadi pada periode 1990/1991, ketika saya dipercaya menjabat Ketua OSIS. Peran itu mengajarkan saya seni negosiasi lintas kepentingan, berbicara dengan guru, berhadapan dengan birokrasi, dan merangkul aspirasi siswa. Keterampilan manajemen konflik saat mengatur acara besar dan keberanian untuk mempertahankan argumen di depan forum yang lebih tua itulah yang menjadi modal utama dalam karier profesional saya hingga kini.
Sikap semangat pelayanan tanpa pamrih dan integritas yang ditekankan oleh SMA Kristen YPKPM menanamkan fondasi bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab moral, bukan sekadar kekuasaan. Ini adalah gen yang harus terus diwariskan. “Institusi pendidikan yang bertahan lama sering kali diukur bukan dari fasilitasnya, melainkan dari ‘produk’ emosional yang dihasilkannya. Organisasi siswa, seperti OSIS, berfungsi sebagai laboratorium kepemimpinan mikro di mana siswa belajar menghadapi kegagalan dan mengembangkan kecerdasan emosional yang jauh lebih penting daripada nilai ujian,” (Dr. Eliana S., Sosiolog Pendidikan).
Visi Masa Depan: Merangkul Havruta untuk Berpikir Kritis
Dalam usianya yang ke-68, YPKPM Ambon dituntut untuk bergerak melampaui standar kurikulum. Kita tidak lagi hanya butuh siswa yang menghafal, melainkan **pemikir kritis** yang mampu memecahkan masalah kompleks sosial dan kebangsaan, sejalan dengan semangat keadilan yang digariskan Mazmur 68.
Untuk menjawab tantangan ini, saya mengusulkan agar YPKPM mulai mengadopsi semangat pola pembelajaran yang teruji: Pola Pendidikan Yahudi (Yeshiva Model), khususnya metode Havruta. Mengapa bangsa yang hanya berjumlah 0,2% dari populasi dunia mampu meraih 20% Hadiah Nobel? Jawabannya mungkin tersembunyi dalam metode kuno yang berakar pada Kitab Suci. Data mengenai peraih Hadiah Nobel sungguh mengejutkan. Sekitar 20% hingga 22% dari seluruh penerima penghargaan bergengsi ini di dunia adalah orang-orang Yahudi, padahal populasi global Yahudi saat ini hanyalah sekitar 0,2%. Rasio prestasi yang fantastis ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apa rahasia di balik keunggulan intelektual yang sedemikian raser?
Banyak pakar pendidikan dan sosiologi kini sepakat bahwa faktor utama bukanlah genetik, melainkan pola pendidikan dan budaya belajar yang diwariskan secara turun-temurun, sebuah tradisi yang dimulai dari Kitab Suci mereka sendiri, Taurat.
Dari Taurat ke Budaya Diskusi Kritis
Tradisi pendidikan Yahudi tidak didasarkan pada menghafal, melainkan pada perdebatan dan pertanyaan mendalam. Fondasi ini diletakkan oleh perintah Alkitab itu sendiri. Dalam Ulangan 6:7, orang tua Yahudi diperintahkan: “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”
Perintah “membicarakannya” (vehishnantam) bukan hanya berarti bercerita, tetapi melibatkan diskusi, analisis, dan pengulangan yang intens. Inilah yang melahirkan budaya belajar yang terus berlanjut hingga kini dan menjadi inti dari keunggulan mereka:
- Metode Havruta: Perdebatan Sebagai Proses Belajar
Metode belajar yang paling ikonik adalah Havruta (berasal dari kata Ibrani haver yang berarti ‘teman’). Ini adalah praktik kuno di mana dua orang siswa berpasangan untuk mendiskusikan, menganalisis, dan berdebat secara kritis mengenai teks-teks suci (Talmud atau Taurat).Fokus: Dalam Havruta, tujuannya bukanlah mencari jawaban tunggal yang benar, melainkan mengembangkan kemampuan berargumentasi, menantang asumsi, dan melihat masalah dari berbagai sudut pandang. Ini melatih otak untuk beroperasi dalam mode dialog dan kritik, menghasilkan pemikir yang mampu menciptakan solusi orisinal. Hasil: Kemampuan yang ditransfer ke dunia akademis: siswa Yahudi terbiasa tidak menerima informasi mentah-mentah, melainkan memprosesnya melalui perdebatan yang intens dan logis. Ini adalah fondasi dari pemikiran ilmiah dan filsafat yang sangat dihargai oleh Komite Nobel. - Pertanyaan Lebih Penting daripada Jawaban
Dalam budaya Yeshiva (sekolah agama Yahudi), pertanyaan sering kali lebih berharga daripada jawaban. Anak- anak didorong untuk mengajukan pertanyaan yang menantang otoritas guru atau teks. Hal ini dikenal sebagai p’shat (makna sederhana) vs. drash (makna mendalam/tafsir).Pola ini menanamkan etos bahwa pencarian ilmu adalah tugas seumur hidup, bukan sekadar periode untuk lulus ujian. Rasa ingin tahu yang tak pernah puas (insatiable curiosity) inilah yang mendorong terobosan-terobosan ilmiah di bidang Fisika, Kimia, dan Kedokteran – bidang-bidang yang mendominasi Hadiah Nobel.“Mengajarkan anak untuk mengajukan pertanyaan yang mendasar dan terkadang ‘tidak sopan’ secara intelektual adalah kunci untuk melatih inovator. Pendidikan Yahudi secara historis berhasil menjadikan keraguan sebagai alat belajar, bukan sebagai kelemahan,” (Dr. Amos R., Psikolog Pendidikan).
Warisan untuk Pendidikan Kita
Kisah sukses Hadiah Nobel bukan sekadar tentang orang Yahudi; ini adalah bukti nyata akan kekuatan kurikulum yang mengutamakan pemikiran kritis dan karakter di atas hafalan belaka. Bagi institusi pendidikan, khususnya sekolah Kristen yang juga berakar pada Alkitab, ada pelajaran fundamental di sini:
- Transformasi Peran Guru: Guru harus bertransisi dari “penyampai kebenaran” menjadi “fasilitator pertanyaan”.
- Membudayakan Diskusi: Mendorong sesi belajar dua orang (peer-to-peer learning) di mana siswa harus saling menjelaskan dan mempertanyakan kons
- Memadukan Iman dan Nalar: Mengajarkan bahwa iman tidak anti-n Diskusi mendalam tentang etika dan nilai-nilai Kristiani harus dilakukan dengan argumentasi yang kritis dan logis.
Jika sebuah bangsa dapat mencapai prestasi intelektual global yang sedemikian raser dengan berpegang pada metode kuno yang berakar pada Kitab Suci, maka institusi pendidikan kita juga harus berani merefleksikan dan mengadopsi pola belajar yang menuntut kedalaman, perdebatan, dan pertanyaan abadi. Inilah jalan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang bukan hanya berintegritas, tetapi juga mampu memecahkan masalah kompleks abad ke-21.
Havruta (berasal dari kata Ibrani haver yang berarti ‘teman’ atau ‘sahabat’) adalah metode belajar di mana dua orang siswa berpasangan untuk mendiskusikan, menganalisis, dan bahkan berdebat secara kritis tentang sebuah teks atau ide. Ini adalah antitesis dari sistem ceramah satu arah. Metode ini melatih otonomi berpikir dan memupuk keterampilan menantang ide secara konstruktif. Inti dari Havruta adalah praktik mendukung dan menantang pasangan belajar Anda. Itu menghasilkan pemikir yang mampu mengartikulasikan ide mereka dengan lantang dan mempertahankannya dengan bukti yang kuat. Ini adalah kunci untuk menghasilkan inovator dan pemimpin yang tidak sekadar mengikuti arus, tetapi berani mempertanyakan status quo. (Prof. Daniel K., Ahli Kognitif Pendidikan dan Komunitas Belajar).
Pola ini sangat relevan untuk SMA Kristen YPKPM karena dapat menguatkan identitas Kristiani melalui analisis teologis yang mendalam dan kritis, bukan sekadar penerimaan dogmatis. Kedalaman berpikir inilah yang akan memastikan SMAKIR tidak hanya mencetak alumni yang sukses secara pribadi, tetapi juga pemimpin yang berintegritas dan peduli pada keadilan di tengah kompleksitas moral.
Peran Alumni sebagai Katalis Transformasi
Untuk mewujudkan visi ini, diperlukan kolaborasi yang lebih struktural antara sekolah dan alumninya. Alumni adalah produk utama sekolah, sekaligus agen pemasaran dan katalis perubahan terdepan.
Jika alumni sukses, baik di sektor pemerintahan, bisnis, maupun pelayanan, secara kolektif berinvestasi dalam pola pikir Havrutaini, kita dapat mengubahSMAKIR YPKPM Ambon menjadi pusat inkubasi kepemimpinan yang sesungguhnya. Alumni dapat menjadi mentor Havruta bagi siswa, mengajarkan mereka bagaimana menghadapi dilema etika dan profesional di dunia nyata.
Penutup: Fondasi Kepemimpinan dan Harapan Abadi
Tiang Pancang SMAKIR YPKPM adalah integritas dan fondasi Kristiani. Napak Tilas nya adalah kisah-kisah kepemimpinan yang nyata, seperti yang saya dan ribuan alumni lain alami. Maka, Prestasi masa depannya haruslah terletak pada kedalaman berpikir yang menghasilkan pemimpin dengan karakter kokoh dan nalar yang tajam, sejalan dengan panggilan keadilan Mazmur 68.
Mari kita, para alumni lintas angkatan, bergotong royong. Sumbangkan pemikiran kritis dan pengalaman kita untuk memastikan SMAKIR YPKPM Ambon tidak hanya bertahan 68 tahun, tetapi memimpin transformasi Pendidikan di Maluku dan Indonesia Timur. Selamat Ulang Tahun ke-68, SMA Kristen YPKPM Ambon. Semoga lentera yang kau nyalakan terus membimbing generasi Ambon menjadi pemimpin yang kritis, berkarakter, dan berani menggapai bintang tertinggi!
*) Penulis adalah Senior Pastor of Cornerstone Church Bali ; Founder of Cornerstone School Bali (Kindergardten, Elemantary & Junior High School serta Founder & President of Cornerstone International Thelogical College