Oleh :
Medris Nilam Bestari Sianturi *
Identitas gender sendiri merupakan perasaan internal seseorang tentang diri sendiri, baik sebagai wanita, pria, atau bahkan bukan keduanya. Sebagai contoh, perempuan tak selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan, tapi bisa juga ia menandai dirinya sebagai laki-laki atau bukan keduanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, isu identitas gender di kalangan anak muda semakin menjadi perbincangan hangat. Perubahan sosial yang cepat, ditambah dengan akses informasi yang banyak , telah memberikan anak muda kebebasan untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan identitas mereka. Namun, di balik kebebasan ini, terdapat tantangan yang sering kali dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Artikel ini akan membahas kebebasan, tantangan, dan harapan terkait identitas gender anak muda serta bagaimana lingkungan berperan dalam proses ini.
Kebebasan dalam Menemukan Diri
“Bebas! Bebas! Bebas!”, ungkapan yang sudah tidak asing lagi dan sering kali kita dengar. Namun, apakah makna dari kata tersebut telah dapat kita peroleh sepenuhnya? Tanah air kita, Indonesia sudah merdeka dan terbebas dari belenggu penjajah sejak lama.
Dalam era modern ini, kebebasan dalam menemukan diri dalam identitas gender itu adalah hak setiap anak muda. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berekspresi dan kehidupan yang bebas dari diskriminasi, termasuk dalam aspek identitas gender.
Namun, dalam beberapa kasus kebebasan ini bisa mengarah pada pemilihan identitas yang tidak sehat. Misalnya, dalam upaya untuk mencari perhatian atau popularitas, beberapa anak muda mungkin memilih identitas yang mereka rasa akan membuat mereka lebih menarik di mata teman sebaya atau di dunia maya, tanpa benar-benar memahami dampak jangka panjangnya. Ini dapat menyebabkan mereka terjebak dalam persona yang tidak sesuai dengan jati diri asli mereka, akhirnya membawa mereka ke dalam rasa ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan.
Apa yang mempengaruhi identitas Gender anak muda?
Lingkungan memiliki pengaruh besar dalam membentuk identitas gender anak muda. Lingkungan di sekitar kita, baik keluarga, teman sebaya, sekolah, masyarakat, maupun media, dapat memperkuat atau menghambat proses perkembangan identitas emosiona
Keluarga seharusnya menjadi tempat pertama yang memberikan rasa aman dan dukungan. Namun, bagi banyak anak muda, kenyataan berbeda. Keluarga yang tidak memahami atau menolak identitas gender anak dapat menyebabkan trauma emosional yang mendalam. Penolakan dari orang tua atau anggota keluarga lainnya bisa memicu perasaan terisolasi, stres, dan depresi.Ketika lingkungan rumah tidak mendukung, anak muda sering kali terpaksa menyembunyikan identitas mereka, yang memperburuk kondisi mental dan emosional mereka.
Lingkungan pertemanan juga dapat mempengaruhi identitas gender anak muda, teman yang tidak menerima perbedaan gender dapat mengarah pada perundungan, ejekan, dan diskriminasi.
Lingkungan dapat memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk identitas gender anak muda, tetapi ketika lingkungan tersebut tidak mendukung, dampaknya bisa sangat merugikan. Keluarga, teman, sekolah, media, dan masyarakat yang tidak menerima perbedaan gender dapat menyebabkan tekanan, diskriminasi, dan bahkan trauma yang berkepanjangan. Ini menghambat proses penemuan jati diri yang sehat dan memperburuk masalah kesehatan mental di kalangan anak muda. Penting bagi kita untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan menerima agar anak muda dapat berkembang dengan sehat dan merasa diterima apa adanya.
Tantangan anak muda dalam menentukan identitas gender
Menurut laporan UNESCO pada 2022, lebih dari 30% anak muda di Asia-Pasifik mengalami bullying berbasis gender, termasuk penghinaan verbal, pelecehan fisik, dan diskriminasi di lingkungan sekolah. Situasi ini diperparah oleh minimnya langkah tegas dari pihak sekolah untuk melindungi siswa yang menjadi korban.
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman norma gender tradisional di masyarakat kita. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar, justru menjadi arena reproduksi stereotip dan kekerasan. Jika institusi pendidikan tidak segera bertindak, generasi mendatang akan terus terjebak dalam siklus ketakutan dan ketidakadilan.
Data dari Journal of Adolescent Health pada 2021 mengungkapkan bahwa anak muda yang terbuka tentang identitas gender mereka di media sosial memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi dan kecemasan. Salah satu penyebab utamanya adalah komentar negatif atau serangan langsung dari warganet. Bahkan, banyak dari mereka yang merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan citra tertentu demi mendapatkan penerimaan sosial.
Banyak anak muda yang menghadapi kesulitan dalam mendapatkan dukungan keluarga terkait identitas gender mereka.Ketika orang tua atau anggota keluarga menolak menerima kenyataan ini, anak muda sering kali merasa kehilangan “tempat aman.” Penolakan keluarga tidak hanya menyakitkan secara emosional, tetapi juga dapat membuat mereka kehilangan akses ke kebutuhan dasar seperti tempat tinggal atau pendidikan.
Harapan untuk masa depan : Apa yang bisa dicapai?
Meskipun tantangan yang ada sangat besar, ada harapan yang nyata bahwa masa depan akan lebih cerah bagi anak muda dengan identitas gender yang beragam. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat membawa perubahan positif:
Menurut laporan GLSEN (2022), sekolah yang menerapkan kebijakan anti-diskriminasi berbasis gender mengalami penurunan insiden bullying hingga 50%. Selain itu, siswa di sekolah ini lebih mungkin untuk merasa aman dan diterima oleh lingkungan mereka.
Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan inklusif memiliki dampak nyata dalam menciptakan ruang aman bagi anak muda. Harapan ini dapat direalisasikan dengan mendorong sekolah untuk mengadopsi kebijakan serupa. Tidak hanya melindungi siswa, tetapi langkah ini juga dapat membantu membangun generasi yang lebih toleran.
Sebuah survei dari Pew Research Center (2023) menunjukkan bahwa 60% anak muda terinspirasi untuk lebih percaya diri dalam mengekspresikan identitas gender mereka setelah melihat representasi positif di media. Serial televisi, film, dan kampanye iklan yang mendukung keberagaman gender telah membantu mengubah cara pandang banyak orang.
Media memiliki kekuatan besar untuk mengubah persepsi publik. Dengan terus mendorong representasi yang adil dan inklusif, harapan untuk menciptakan masyarakat yang menerima keberagaman gender semakin nyata.
Anak muda dengan identitas gender yang berbeda sering kali dihadapkan pada penolakan, baik dari lingkungan keluarga, masyarakat, hingga institusi yang seharusnya menjadi tempat perlindungan.
Kebebasan yang dikejar justru sering menjadi pintu menuju tekanan mental dan isolasi. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang ekspresi, sering kali berubah menjadi medan pertempuran opini yang memperburuk kondisi psikologis anak muda. Lebih parah lagi, minimnya langkah konkret dari pemerintah dan institusi pendidikan untuk menangani isu ini membuat mereka merasa semakin tidak terlihat dan tidak berharga.
Jika masyarakat terus berjalan tanpa komitmen nyata untuk mengatasi tantangan ini, kebebasan yang dirayakan hanya akan menjadi ilusi. Anak muda akan terus terjebak dalam paradoks kebebasan, di mana mereka diberi ruang untuk berbicara tetapi tak pernah benar-benar didengar. Dunia yang lebih inklusif tampaknya masih jauh dari kenyataan, dan langkah menuju ke sana membutuhkan upaya yang lebih serius daripada sekadar retorika tentang penerimaan.
* Penulis adalah : Mahasiswa di universitas JAMBI, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Jurusan Akuntansi