Oleh :
Jusuf Nikolas Anamofa **
Opini Falantino Eryk Latupapua berjudul Autokrasi: Rakyat bukan Remah-Remah di Pinggir Piring, tanggal 5 Maret 2022 di MalukuPost.com dari sisi substantif dan pilihan-pilihan kata sungguh menarik dibaca. Beberapa fakta dibungkus secara halus, dibaca menggunakan kacamata teoretis tertentu dan ditulis guna menjadi bangunan pengetahuan bersama.
Saya tertarik menanggapi tulisan itu dalam rangka diskusi saja, tidak untuk kepentingan lain. Saya akan menanggapi tulisan tersebut secara terbalik dari paragraf akhir ke awal. Untuk mendapatkan insight dari tulisan Latupapua dan tulisan tanggapan ini, para pembaca dapat menyandingkannya dalam satu layar.
Latupapua pada paragraf terakhir mengajak pembaca untuk mencermati rekam jejak sebagai upaya menyiapkan kepemimpinan di masa depan. Bagi saya, ajakan itu seperti bermain-main di wilayah antara ada dan tiada. Rekam jejak adalah padanan Indonesia bagi istilah track record yang menunjuk pada semua hal baik/buruk, berhasil/gagal yang dilakukan oleh seseorang atau satu organisasi di masa lalu terkait pekerjaan atau bidang tertentu.
Jejak-jejak baik/buruk, berhasil/gagal itu mesti direkam seperti orang menulis riwayat hidup atau curriculum vitae. Sayang sekali, jejak yang direkam dalam riwayat hidup adalah jejak-jejak baik dan berhasil saja, tidak pernah jejak-jejak buruk dan gagal. Sudah pasti rekam jejak pemimpin dalam pengertian standarnya itu akan menampilkan yang baik dan berhasil. Mengharapkan agar jejak seseorang direkam dalam ingatan bersama adalah kemungkinan yang tidak mungkin.
Pertama, meskipun memori manusia mampu menyimpan banyak hal tetapi memunculkannya kembali untuk kepentingan pengambilan keputusan tidaklah mudah jika tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan individu.
Kedua, jejak yang telah direkam memang tidak mudah dihapus tetapi dapat dengan mudah ditindih oleh rekaman baru terutama dalam jangka waktu singkat menjelang masa memilih pemimpin. Masa pengenalan dan kampanye calon pemimpin sebagai prosedur baku demokrasi adalah waktu yang sangat krusial bagi munculnya citra-citra positif yang akan menutup jejak-jejak buruk.
Ketiga, ada mekanisme lupa dan pelupaan yang berhubungan dengan ingatan politis yang dibahasakan oleh Milan Kundera sebagai bentuk penindasan secara struktural. Caranya sangat kasat mata yaitu dengan menghilangkan jejak diri atau pemikiran individu terkait struktur tertentu. Silahkan lihat dan hitung, siapa saja yang sudah dihilangkan jejak dan pemikirannya dari struktur tertentu oleh pemimpin supaya yang terekam dalam ingatan masyarakat itu perlahan tenggelam oleh rekaman-rekaman baru?
Kundera jelas menyatakan bahwa beratnya perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah bentuk perjuangan ingatan melawan pelupaan. Apakah itu menunjukkan kerentanan politik masyarakat kita? Perhelatan lima tahunan telah menjadi bukti betapa masyarakat rentan dan mudah lupa. Rekaman ingatan masyarakat terhadap jejak-jejak individu pemimpin mudah ditindih oleh rekaman-rekaman lain melalui mekanisme pelupaan struktural Kundera di atas.
Dalam paragraf kedua terakhir, Latupapua memilih untuk melawan dengan menjaga jarak kritis dan menggunakan setiap saluran untuk membangun kesadaran, di antaranya melalui tulisan. Saya cenderung tidak sepakat untuk sepakat dengan pilihan ini. Bagi saya, Maluku ada dalam situasi kritis kesadaran kritis. Kritis yang pertama menunjukkan situasi darurat, kritis yang kedua menunjukkan upaya mempertanyakan dan membahas semua hal secara logis, rasional, dan radikal.
Kemampuan membaca sebagian besar masyarakat kita masih pada taraf membaca teks yaitu merangkai kata menjadi kalimat dalam tulisan, belum tiba pada tahap membaca konteks di balik kalimat kemudian membaca implikasi praktis dari kalimat-kalimat tersebut. Kalaupun bisa membaca konteks dan implikasi-implikasi praktis dari tiap tulisan tetapi hamper semua memilih bungkam karena tidak berhubungan dengan kepentingan diri dan keluarga.
Situasi seperti itu menjadi lahan subur bagi upaya pelupaan struktural terkait rekam jejak pemimpin. Meskipun demikian, saya sepakat bahwa salah satu jalan melawan yang elegan dan terpelajar adalah melalui tulisan yang baik seperti tulisan tersebut.
Latupapua sebelumnya merujuk pada Hannah Arendt pada paragraf ketiga terakhir untuk membahas tentang disorientasi kekuasaan. Menggunakan Arendt sebagai kacamata tentu sah-sah saja, tetapi saya menawarkan kacamata lain yaitu membaca autokrasi menggunakan kacamata Machiavellian. Meskipun bagi kebanyakan orang ketika mendengar nama Machiavelli langsung berpikir negatif tentang kekuasaan, namun begitulah gambarannya tentang fakta-fakta kekuasaan.
Menurut Machiavelli, seorang pemimpin yang baik tidak harus dicintai dan disukai, tetapi harus ditakuti dan dihormati, selama apa yang dilakukannya itu dapat menjaga kestabilan pemerintahannya. Jadi, bukan rakyat yang menjadi orientasi pemerintahan tetapi hasrat untuk tetap berkuasalah yang menjadi orientasi. Baginya, seorang pemimpin yang baik harus belajar untuk tidak menjadi baik, berkemauan menyingkirkan moral dari politik termasuk keadilan, kejujuran, dan kebaikan, demi tujuan akhir yaitu stabilnya kondisi politik dan pemerintahan.
Para pemimpin tidak mau dicap Macchiavellian karena dianggap negatif padahal dalam praktek kekuasaan, mereka menerapkan pendekatan Macchiavellian. Di titik itu, kesadaran masyarakat mesti diarahkan pada kesadaran realisme kekuasaan, bukan idealisme kekuasaan saja. Praktik kepemimpinan autokratis itu ada landasan filosofis dan kerangka teoretiknya, bukan wujud semata-mata kebingungan atas konsep diri.
Fakta-fakta tentang Maluku yang ditampilkan Latupapua dalam paragraf keempat terakhir adalah lahan paling subur bagi politik pencitraan. Oleh karena itu kemiskinan, ketertinggalan, taraf alibaca rendah, pendidikan terpuruk, indeks pembangunan manusia di bawah rata-rata nasional, serta sederet predikat buruk lainnya, harus tetap dijaga dan dipelihara. Maluku harus tetap miskin karena kemiskinan adalah isu penting kampanye politik. Maluku harus tetap tertinggal karena ketertinggalan adalah hal menarik untuk dikemas politisi calon pemimpin.
Pendidikan Maluku harus tetap terpuruk supaya ada kesempatan untuk membodoh-bodohi masyarakat yang kurang terdidik, dan lain sebagainya. Para calon pemimpin akan berlomba-lomba memanfaatkan fakta-fakta itu untuk menawarkan solusi-solusi politik. “Jika saya terpilih, maka saya akan …. ” adalah rumus baku yang telah mandarah daging dalam tubuh politik prosedural lima tahunan kita. Walaupun antiklimaksnya ada di rumusan “Karena saya telah terpilih, maka saya akan ….”, tetap saja masyarakat mengalami diabetes politis karena selalu makan janji-janji manis tiap lima tahun.
Dalam paragraf keempat, Latupapua menunjukkan kepemimpinan autokratislah yang menimbulkan keterpurukan Maluku tetap ada, sebagaimana digambarkan pada paragraf berikutnya. Tentu saya tidak akan membahas lagi tentang kerangka kerja kepemimpinan autokratis yang mendapatkan kekuatan teoretisnya dari realisme politik Nicolo Machiavelli. Hal yang hendak disampaikan adalah soal motif kekuasaan sebagai dasar autokratisasi. Kacamata Barbara Geddes yang menulis Politician’s Dilemma dapat digunakan untuk membaca motif utama para politisi yaitu kehendak berkuasa.
Pertama, mereka harus mengusahakan agar terpilih dan berkuasa. Setelah terpilih, yang diupayakan adalah tetap terpilih dan berkuasa pada periode berikutnya. Komitmen ideologis menghadirkan kesejahteraan sebagaimana tergambar dalam visi misi besar saat kampanye bukanlah apa-apa dibandingkan hasrat untuk terpilih dan berkuasa. Daripada menghabiskan banyak energi untuk mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan, lebih baik mengerahkan sumber daya untuk menjaga kemungkinan agar dapat terpilih dan berkuasa kembali dengan memperhatikan lingkaran terpenting paling dekat yang telah dan akan bekerja keras sebagai penyandang dana dan tim sukses.
Rakyat dipandang sebagai useful idiot, orang-orang bodoh yang mudah dimanfaatkan hanya dengan citra manis menjelang pemilihan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para politisi memiliki hak-hak khusus menentukan arah dan subjek pemanfaatan sumber daya yang dipandang sebagai komoditas politik seperti kontrak proyek, jabatan struktural, mutasi dan penempatan, beasiswa, termasuk menyediakan lubang-lubang persembunyian bagi orang-orang di lingkarannya yang bermasalah, dan masih banyak lagi.
Jadi, semua yang dilakukan itu telah dikalkulasi sedemikian rupa dalam rangka tetap terpilih dan berkuasa lagi. Dalam kacamata Geddes, kita tidak bicara soal satu orang yang dibatasi oleh aturan untuk berkuasa dua periode saja, tetapi hasrat itu diteruskan dengan mengupayakan orang terdekat seperti istri/suami, anak, dan sebagainya agar terpilih dan berkuasa. Dengan begitu, lingkaran kekuasaan dan pengambilan keputusan tetap terjaga.
Pada paragraf ketiga, Latupapua menampilkan uang sebagai alasan paling umum kepemimpinan autokratis. Istilah kapital dan uang saling bertukar posisi dengan maksud yang sama. Memang, uang sebagai representasi kapital ekonomi paling mudah digunakan untuk mengkonversi kapital lain seperti kapital sosial, budaya, dan simbolik. Itulah yang diaminkan oleh Piere Bourdieu. Meskipun uang tidak diperebutkan secara langsung dan kasat mata tetapi diperoleh lewat kepengaturan pemerintah lewat regulasi, kesepakatan dan negosiasi, juga standar dan mekanisme. Kapital yang terkumpul berupa dana, persediaan barang, investasi, dan kekuatan selalu digunakan memodali kerja-kerja politik untuk tetap terpilih dan berkuasa.
Di titik itu, saya sepakat dengan penulis. Sayangnya, pada bagian terakhir muncul semacam penerimaan bahwa ada hal-hal baik yang dilakukan oleh pemimpin autokratis yang dapat dengan mudah dilupakan karena uang. Membaca paragraf ini, saya menemukan argumentasi yang bertolak belakang apalagi ada ungkapan “nila beberapa titik merusak segalon susu” seolah ada segalon susu kebaikan kepemimpinan autokratis yang mudah dilupakan karena beberapa titik hasrat akan uang saja. Pertanyaan sederhana adalah apakah ada kebaikan yang didapatkan dari model kepemimpinan autokratis?
Dalam paragraf kedua, Latupapua menaruh harapan yang tinggi pada institusi penanam nilai dan penjaga etika serta moral seperti lembaga agama dan pendidikan. Tetapi beberapa fakta yang ditampilkan menunjukkan bahwa ada yang salah dengan institusi-institusi tersebut. Ciri autokratis kemudian dilekatkan di sana. Agama dan pendidikan juga soal organisasi dan kepengaturan. Sejauh kepengaturan terhadap sesuatu dilakukan dalam batasan-batasan organisasi, maka semua tipe kepemimpinan termasuk tipe kepemimpinan yang autokratis dapat diterapkan di sana.
Jika saya menghubungkan paragraf kedua ini dengan paragraf ketiga dari penulis yang telah saya tanggapi di atas, terdapat benang merah. Jangan-jangan kepemimpinan di institusi-institusi agama dan pendidikan itulah yang dimaksud penulis ketika bicara soal kebaikan model kepemimpinan autokratis sehingga ketika ada beberapa titik kepentingan akan uang, rusaklah segalon kebaikan yang dirawat dalam rekam jejak. Apakah dalam institusi-institusi seperti agama dan pendidikan ada hasrat untuk tetap terpilih dan berkuasa? Adakah hasrat untuk menimbun kapital ekonomi demi modal untuk tetap terpilih dan berkuasa di sana? Silahkan cermati saja situasi kepemimpinan pada institusi-institusi itu di sekeliling kita. Apa yang dapat kita harapkan jika model kepemimpinan dari institusi-institusi itu cenderung autokratis?
Puncak dari tanggapan saya adalah tentang paragraf pertama dari tulisan Latupapua. Rasa-rasanya tidak terlalu banyak yang hendak diulas lagi karena seluruh tulisan saya telah menunjukkan rasionalisasi dari situasi yang dipaparkan oleh penulis, dari kacamata Machiavelli, Geddes, dan Bourdieu. Berpikir tentang kepemimpinan autokrasi dihadapkan pada fakta-fakta yang ada dapat menimbulkan auto crazy, kegilaan yang otomatis, bisa gila sendiri.
Untuk tetap merawat kewarasan pikiran maka Latupapua menyarankan untuk terus bersuara secara kritis dan memilih menggunakan tulisan karena itu cara yang elegan dan terpelajar. Saya tidak menyarankan apa-apa, hanya berharap ada pihak lain yang juga menanggapi tulisan-tulisan kami sehingga kita semakin diperkaya. Dengan begitu, ada insight di dalam diri ketika berbicara atau menulis di mana saja tentang isu kepemimpinan dan Maluku.
Penulis : Dosen STKIP Gotong Royong Masohi **