Langgur, MalukuPost.com – Kepulauan Kei yang meliputi daratan pulau Kei Kecil (Nuhu Roa), Kei Besar (Nuhu Yuut), Kur, Tam dan Tayando, memiliki catatan sejarah panjang.
Sebelumnya, pulau-pulau diatas tergabung dalam satu wilayah pemerintahan yang disebut Kabupaten Maluku Tenggara.
Kabupaten Malra sesuai catatan sejarah, didirikan pada tahun 1952.
Penamaan Kabupaten yang dijuluki Bumi Larwul Ngabal itu berkaitan dengan kondisi politik di Indonesia saat itu.
Wilayah Kabupaten Malra ketika didirikan meliputi Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, dan Kepulauan Tanimbar.
Kabupaten Malra meliputi pulau-pulau yang lokasinya jauh yakni Babar, Leti, Kisar, Pulau dan Wetar.
Namun, sejak digulirnya reformasi Indonesia pada tahun 1999, wilayah Kabupaten Malra mulai mengalami pemekaran daerah, sehingga saat ini hanya tersisa Kepulauan Kei. Sementara kepulauan lainnya dimekarkan menjadi kabupaten tersendiri.
Pada tahun 2003, kepulauan Aru resmi menjadi Kabupaten Kepulauan Aru berdasarkan Pasal 5 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2003.
Menyusul empat tahun kemudian tepatnya pada tahun 2007, ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara yakni Tual, dimekarkan menjadi Kota Tual sesuai Pasal 3 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2007.
Saat ini, Kabupaten Malra memiliki 11 Kecamatan yakni Kei Kecil, Kei Besar, Kei Besar Selatan, Kei Besar Utara Timur, Kei Kecil Timur, Kei Kecil Barat, Manyeuw, Hoat Sorbay, Kei Besar Utara Barat, Kei Besar Selatan Barat, dan Kei Kecil Timur Selatan.
Kisah Sang Pahlawan Drs. Bon Setitit
Sejarah pembentukan (berdirinya) daerah Kabupaten Maluku Tenggara tidak akan dilepaspisahkan dengan salah satu tokoh pemrakasa yakni Almarhum Bonaventura Setitit.
Boneventura Setitit yang akrab disapa Bon Setitit itu lahir di Desa Rumaat Kecamatan Kei Kecil (sekarang Kecamatan Kei Kecil Timur) pada tanggal 16 Mei 1919, era penjajahan Belanda.
Keturunan lurus Raja Rumaat (generasi VII trah Rahan Rusbal) Rat Songli ini, merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara.
Ia menikah dengan wanita Minahasa dari Kakaskasen Tomohon Utara bernama Anna Carolina Senduk.
Pemberkatan pernikahan mereka berdua secara Katolik dilaksanakan pada tanggal 31 Mei 1954, di Gereja Katedral (De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) Jakarta.
Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai enam orang anak.
Sekedar tahu, catatan perjalanan seorang Bon Setitit dalam sejarah Kabupaten Maluku Tenggara telah dituangkan dalam buku.
Buku dengan judul “Sebiji dari Tenggara” Biografi Bon Setitit, Mel kasil mel mehan umsak mu laar rat mufla o, yang diterbitkan oleh Penerbit PT Kanisius itu, ditulis oleh Stephanus G. Setitit (putera Alm. Bon Setitit), dan telah dicetak sebanyak tiga kali yakni tahun 2021, 2022 dan 2023.
Dalam bukunya yang pertama itu, Stephanus Setitit menulis tentang kisah perjalanan ayahnya diantaranya Enam Belas Tahun Masa Bersamanya, Figur Seorang Ayah, Drs. Bon Setitit, Sekelumit Perjalanan Sejarah Bangsa, Sistem Pemerintahan Hindia Belanda, Zaman Kebangkitan Nasional 1900–1945, Zaman Pendudukan Jepang 1942–1945, Riwayat Pendidikan, Pekerjaan, dan Kegiatan, Masa-masa Terakhir, serta Testimoni Para Tokoh.
Penulis buku Stephanus G. Setitit, yang adalah putera dari Alm. Bon Setitit.
Anak kedua dari enam bersaudara itu merupakan mantan Penerbang Garuda Indonesia dengan pengalaman kurang lebih 20.000 jam terbang, dan pensiun sejak Desember 2016.
Diterbitkannya Buku tersebut agar perjuangan Bon Setitit dapat dijadikan contoh dan teladan bagi generasi sekarang, mengingat kisah-kisah perjuangan bangsa sejak awal kemerdekaan kurang diketahui anak-anak muda masa kini, terlebih dari para tokoh yang sangat berperan besar pada era awal kemerdekaan.
Wartawan MalukuPost.com mendapat kehormatan untuk menulis berita tentang sang negarawan asal Kepulauan Kei ini.
Dalam bukunya itu, Stephanus menceritakan, ayahnya Alm. Bon Setitit, pada masa peralihan ke pemerintahan RI (tahun 1952 – 1955 ), bekerja di Departemen Dalam Negeri RI sebagai Pimpinan Bagian, Subbagian, dan Seksi Bagian Otonomi dan Desentralisasi.
Sebagai pemrakarsa ide pemekaran Provinsi Maluku dengan nama Maluku Ter Selatan pada tahun 1946, Bon Setitit pun turut membidani terbentuknya Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 1952.
Kesepakatan terjadi pada tanggal 10 Desember 1951 di atas geladak KM Kasimbar.
Kabupaten Maluku Tenggara itu baru disahkan pada tanggal 20 Desember 1952, mengacu pada Peraturan Presiden RI No. 35 tentang Pembubaran Daerah Maluku Selatan dan Pembentukan Daerah Maluku Tengah dan Daerah Maluku
Tenggara tanggal 12 Agustus 1952 yang ditandatangani oleh Presiden RI, Soekarno.
Beberapa saksi mata dan sahabat ayahnya membuat kesaksian bahwa Bon Setitit tanpa rasa takut dan ragu mengibarkan bendera Sang Dwi Warna (Merah Putih) di halaman kantornya.
Hal terjadi pada saat dia menjabat sebagai Controleur (Setara dengan bupati), pegawai pada Pemerintahan Hindia Belanda di Saumlaki-Tanimbar pada tahun 1946–1947.
Aksi heroik Bon Setitit dengan mengibarkan bendera itu merupakan tindakan yang sangat berani dan penuh risiko, mengingat situasi politik di Indonesia Timur waktu itu belum jelas arahnya.
Dalam bukunya Stephanus mengisahkan, Ayahnya pula yang berinisiatif membuat saluran air bersih dari Olilit Lama Tanimbar yang merupakan sumber mata air bersih yang tak kunjung habis.
Jaringan tersebut menuju pusat kota di Saumlaki karena daerah itu sangat kekurangan air bersih yang layak dikonsumsi.
Kondisi struktur tanah di Tanimbar yang kurang baik, membuat ayahnya (Alm. Bon Setiti) mengajak masyarakat bergotong royong dengan hanya menggunakan bambu sebagai sarana pengaliran air.
Hingga kini, sumber mata air dan perangkatnya masih dipergunakan dari tempat tersebut.
(bersambung…)