Bon Setitit, Pahlawan Dari Kei Yang Dilupakan. (Bagian II)

Alm. Bpk Bon Setitit 2
Drs. Bonaventura Setitit. (foto: dokpri Stephanus G. Setitit).

Sepenggal Kisah Sejarah Bangsa

 

Langgur, MalukuPost.com – Sudah menjadi catatan sejarah, walaupun kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945, namun secara de facto banyak daerah jajahan—terutama di Indonesia Timur—masih dalam genggaman pemerintah Belanda.

Kondisi tersebut berlangsung dari tahun 1945 hingga 1950, atau setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), 2 November 1949.

Berikut adalah inti dari hasil kesepakatan KMB :

  1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
  2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
  3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.

Selanjutnya, pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia.

Gubernur Jenderal Van Mook dari Belanda memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus 1947.

Sepuluh hari setelah itu, tepatnya tanggal 25 Agustus 1947, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang diusulkan Amerika Serikat, bahwa Dewan Keamanan akan menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda secara damai dengan membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Belgia, yang dipilih oleh Belanda, Australia yang dipilih oleh Indonesia, dan Amerika Serikat yang disetujui kedua belah pihak.

Berikut isi perjanjiannya:

  1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
  2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
  3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Perjanjian Renville kemudian menyepakati gencatan senjata. Belanda juga mendapat tambahan wilayah kekuasaan. Selain itu, kedaulatan Belanda atas Indonesia diakui sampai selesai terbentuknya Republik Indonesia Serikat.

Dampak Perjanjian Renville yang merugikan membuat wilayah Indonesia makin sedikit. Belanda pun menguasai wilayah-wilayah penghasil pangan dan sumber daya alam. Selain itu, wilayah Indonesia terkungkung wilayah yang dikuasai Belanda.

Kondisi di Indonesia bagian timur tidak seperti di tanah Jawa, karena pada saat itu, Belanda jelas-jelas menghendaki eksistensi mereka agar tetap bercokol di Maluku dan Papua dengan berdirinya Negara Indonesia Timur pada tanggal 27 Desember 1946.

Kendati ada pemerintahan, namun Negara Indonesia Timur merupakan buatan Belanda sehingga berdampak pula kepada orang-orang yang bekerja di dalamnya serta pada pembagian wilayah menurut daerah masing-masing.

Hal ini justru mengerdilkan arti kemerdekaan itu, yakni dengan dipecahbelahnya Negara Kesatuan ini melalui pembentukan Negara Indonesia Timur pada tanggal 27 Desember 1946.

Akhirnya, Negara Indonesia Timur bubar dan semua wilayahnya melebur ke dalam Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.

Sistem Administratif Maluku Di Zaman Kebangkitan Nasional 1900–1945

Keadaan pemerintahan dan kenegaraan di Maluku ditandai dengan tiga gouvernement yang dibangun oleh VOC sejak awal abad XVll yakni Gouvernement der Molukken, Gouvernement van Amboina, dan Gouvernement van Banda.

Pada permulaan abad XIX, ketiga gouvernement tersebut telah disatukan menjadi Gouvernement der Molukken yang dibagi dalam dua keresidenan (afdeeling) yaitu Residensi Amboina dan Residensi Ternate. Tiap keresidenan diperintah oleh seorang Residen.

Keresidenan Amboina membawahi 15 onderafdeeling dan Keresidenan Ternate, 12 onderafdeeling. Tiap-tiap onderafdeeling diperintah oleh seorang Asisten.

Di samping itu, terdapat pula Staatsgemeente Amboina (kota madya) yang diperintah oleh seorang Burgemeester (Walikota). Pada waktu itu terdapat pula satu dewan pemerintahan, yaitu Ambonraad yang membawa suara dari
para Latupatih yang tergabung dalam Regentenbond.

Daerah yang juga termasuk dalam wilayah pemerintahan Gouvernement der Molukken ini adalah bagian-bagian dari lrian Jaya, yaitu Zuid Nieuw Guinea (lrian Jaya Bagian Selatan) dan West Nieuw Guinea (lrian Jaya Bagian Barat).

Maluku Utara terbagi pula dalam tiga daerah swapraja, yaitu Kesultanan Ternate, Tidore, dan Bacan yang menjalankan pemerintahan berdasarkan Zelfbestuur Regeling tahun 1938 (tentang wilayah pemerintahan).

Keadaan pemerintahan tersebut terus berlangsung hingga masuknya pemerintahan militer Jepang.

Pasca dilakukannya penyerahan dari lnggris, Belanda mulai mengatur pemerintahannya di daerah Maluku.

Berdasarkan pertimbangan pokok bahwa Maluku tidak boleh jatuh ke dalam tangan kekuasaan Barat lainnya, maka ketiga gouvernement yang dibangun oleh VOC sejak awal abad XVll itu disatukan menjadi Gouvernement der Molukken, dengan pusatnya di Ambon.

Pendidikan

Sebelum Perang Dunia II, di Maluku terdapat sekolah-sekolah dasar yang berbahasa Melayu dan ada pula yang berbahasa Belanda, yaitu Hollandsch-Inlandsche School (HIS).

Pendidikan lanjutan sangat terbatas sehingga rata-rata rakyat hanya tamat sekolah dasar. Sekolah kejuruan seperti pertukangan maupun sekolah kerajinan putri hanya ada beberapa.

Sekolah menengah umum satu-satunya hanya terdapat di Kota Ambon, yaitu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang menerima lulusan dari HlS. Pendidikan keguruan di antaranya adalah Normaalschool dan Sekolah Guru Negeri (Kweekschool) yang menampung pemuda-pemuda yang berhasrat untuk menjadi guru di HIS.

Dalam pendidikan agama, terdapat dua sekolah dari Gereja Protestan Maluku, yaitu STOVIL (School tot Opleiding voor Inlandsche Leraar) dan Sekolah Guru Jemaat.

Pada umumnya, di Maluku sebelum Perang Dunia II hanya rakyat Kristen yang memperhatikan kemajuan-kemajuan melalui pendidikan.

Pada zaman penjajahan (sebelum Perang Dunia II), hanya ada sebuah sekolah menengah umum yaitu MULO, yang terdapat di Kota Ambon.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, MULO yang tadinya merupakan satu-satunya sekolah lanjutan umum, lantas dijadikan MS (Middelbare School) pada tahun 1947.

Pada tahun itu juga dibuka Sekolah Menengah Atas, yaitu AMS (Algemeene Middelbare School) pertama di Kota Ambon yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar untuk menampung para lulusan MULO (MS).

(bersambung…)

Pos terkait