Laporan Rudi Fofid-Ambon
Malukupost.com – Sebuah klinik sederhana berada di dekat muara Sungai Wairuhu, Hative Kecil, Amboina, sejak tahun 1960-an. Walau berbahan kayu dan daun sagu tetapi di situlah para biarawati Katolik dari Tarekat Dina Santo Yoseph (DSY) berkarya. Mereka berjuang menyelamatkan penduduk Ambon dari serangan malaria yang mematikan.
Klinik itulah yang kemudian menjelma menjadi Rumah Sakit Hative Kecil atau lebih dikenal dengan nama Rumah Sakit Otto Kuyk. Para dokter, bidan, dan perawat melayani pasien dengan penuh cinta. Sekalipun biaya perawatan relatif lebih tinggi, orang merasa puas dengan layanannya.
Meskipun dikenal sebagai Rumah Sakit Katolik, namun rumah sakit ini menjadi kebanggaan semua warga lintas suku dan agama. Orang Ambon keturunan Buton yang kerjanya sebagai petani, termasuk komunitas yang cukup intim dengan rumah sakit ini. Jika mereka dirawat di sini, tetapi belum punya cukup uang, para biarawati meminta mereka mengkonversi biaya rumah sakit dengan bahan sayur-mayur. Para petani secara rutin mengantar sayur ke rumah sakit. Petugas akan mencatat sehingga sayur itulah yang melunasi biaya pengobatan.
Tahun 1999 ketika konflik meletus di Ambon, warga Muslim ingin membakar Rumah Sakit Otto Kuyk. Alasan mereka, rumah sakit menolak pasien beragama Islam. Beruntung, warga lebih dulu datang ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku. Sekretaris MUI Maluku Thamrin Ely melakukan konfirmasi ke rumah sakit. Pihak rumah sakit menyerahkan salinan daftar pasien yang sedang dirawat. Ternyata, di tengah kerusuhan itu, warga Muslim tetap dirawat di sana.
“Memang ada satu-dua pasien dari warga Muslim kami tolak, sebab kondisinya parah dan tidak bisa kami bedah di sini,” ujar seorang biarawati Katolik, waktu itu.
Rumah Sakit Otto Kuyk akhirnya hancur juga setelah konflik Ambon makin mencapai klimaks. Belakangan, rumah sakit dihidupkan lagi di Negeri Passo. Jadilah namanya Rumah Sakit Hative Kecil (Otto Kuyk Memorial Hospital), Passo-Ambon
SIAPA OTTO KUYK?
Segelintir orang mengenal Otto Kuyk. Akan tetapi sebagian besar orang tidak pernah tahu, siapa gerangan Otto Kuyk. Biodata Otto Kuyk memang sulit didapat sebab jurnalis kawakan level dunia itu meninggal dunia awal tahun 1970. Otto Kuyk meninggal dalam usia 48 tahun akibat serangan jantung.
Pria kelahiran 1922 itu dikenal sebagai wartawan kelas dunia. Dia bekerja di surat kabar ternama di Belanda yakni De Telegraaf. Kariernya dimulai dari reporter dan terus menanjak sampai menjadi redaktur luar negeri.
Setelah terjadi pergolakan di Papua, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan referendum. Di Indonesia, dikenal istilah Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat. Suasana mencekam. Hanya dua jurnalis internasional yang mendapat izin meliput peristiwa tersebut. Keduanya adalah Hugh Lunn (Reuter) dari Australia dan Otto Kuyk (Telegraaf) dari Belanda.
Sewaktu di Negeri Belanda, lembaga Medische Missie Aktie (Memisa) menitip misi kecil kepada Otto Kuyk. Memisa meminta Otto Kuyk melihat keadaan pulau-pulau di Maluku, agar Memisa dapat menyelenggarakan program sosial di bidang kesehatan.
Di Maluku, Otto Kuyk berkeliling. Dia bahkan sampai di Kei. Sementara di Ambon, perjuangan biarawati Katolik di Hative Kecil menjadi salah satu laporan jurnalistik mendebarkan. Tulisannya di surat kabar De Telegraaf, mendapat respon luar biasa di kalangan pembaca. Orang-orang bertanya, bagaimana cara mereka memberi kontribusi bagi para biarawati di muara Sungai Wairuhu.
Dua surat kabar di Negeri Belanda yakni De Telegraaf dan De Courant Nieuws membuka semacam “Dompet Ambon”. Para pembaca kedua surat kabar mengumpulkan uang dari hari ke hari. Memisa dan sejumlah lembaga lain juga turun tangan. Terkumpullah uang sebanyak 150 ribu gulden yang seutuhnya dikirim ke Ambon.
Dengan dana tersebut, Uskup Amboina Mgr Andreas Petrus Cornelius Sol MSC membangun rumah sakit di Hative Kecil. Klinik sederhana menjelma menjadi rumah sakit mentereng. Sesuai akte pendirian, namanya Rumah Sakit Hative Kecil. Uskup Sol memberi nama kedua di dalam tanda kurung, rumah sakit untuk mengenang Otto Kuyk atau Otto Kuyk Memorial Hospital atas jasa sang wartawan menulis dan mengumpulkan dana. Pada saat peresmian tahun 1973, Otto Kuyk sudah tiada. Istri dan anaknya datang ke Ambon saat peresmian tersebut.
Otto Kuyk bukan wartawan biasa. Dia wartawan kelas dunia. Dia bergaul dengan para kepala negara. Liputan jurnalistiknya tidak hanya dituangkan dalam bentuk berita melainkan juga dalam bentuk buku. Otto Kuyk menulis banyak buku lintas benua.
Buku tentang Indonesia adalah Weerzien met Indonesie (Reuni dengan Indonesia). Buku ini pertama kali terbit tahun 1960, dan terus mengalami cetak ulang sampai delapan edisi dalam tiga bahasa.
Otto Kuyk boleh disebut sebagai pencair suasana. Dalam situasi vakum diplomasi Indonesia-Belanda, Otto datang di Jakarta. Dia menjadi wartawan Belanda pertama yang secara ekslusif mewawancarai Presiden Soekarno. Otto Kuyk bahkan berkali-kali menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Dari wawancara dengan presiden itulah, Otto Kuyk menulis buku berjudul Soekarno Tabeh atau Selamat Jalan Soekarno. Buku ini terbit tahun 1967.
Sebelumnya, Otto Kuyk lebih dulu menulis buku Kennedy, President Voor Ons Allen (1963), Manasloe 7000 meter (1864), Prinses Beatrix trouwt (1966) dan De Heer en Mevrouw van Vollenhoven (1967). Dagen, maanden, Jaren Uit Het Leven van Koningin Juliana (1967), Martin Luther King: Moord in Memphis (1968), dan sejumlah buku lain.
Meskipun menulis banyak buku dan berjasa bagi pembangunan rumah sakit di Ambon, sulit sekali menemukan tulisan mengenai sosok Otto Kuyk namun bagaimanapun, Otto Kuyk telah abadi di Ambon. Jasanya tetap dikenang di dalam nama Otto Kuyk Memorial Hospital. (Malukupos.com)