Oleh Falantino E. Latupapua-Ambon
Pada era disrupsi dan dinamisasi teknologi kecerdasan buatan ini, kita semua, baik sadar maupun tanpa sadar, sedang menjadi saksi terhadap terjadinya perubahan gaya hidup umat manusia secara amat cepat, masif, dan penuh dengan ledakan-ledakan yang mengejutkan. Dunia yang tadinya bergerak lambat dalam habituasi gerakan yang sangat spasial dan berbatas, dalam waktu beberapa puluh tahun terakhir ini tiba-tiba menjadi tanpa batas. Ruang-ruang spasial yang tadinya menjadi penanda kebudayaan dan peradaban telah berubah menjadi ruang terbuka, sulit diprediksi, dan sulit dikendalikan. Arus informasi berubah dari habituasi kolektif menjadi sangat personal akibat teknologi ponsel yang berkembang sangat cepat. Setiap orang dapat dengan mudah terpapar berita yang masif dan bombastis tentang munculnya virus baru yang menghebohkan dunia; menguatnya tren gaya hidup yang membongkar mitos dan tabu; perang laten maupun frontal baik pada tataran fisik maupun gagasan-gagasan yang melibatkan bangsa-bangsa di dunia hingga antarindividu dan kelompok masyarakat terbatas.
Arus informasi melalui media massa konvensional maupun internet yang serba terbuka namun semakin personal menciptakan nilai-nilai baru yang mulai menggilas secara perlahan-lahan berbagai tatanan yang sudah dianggap mapan, terutama dalam relasi antarmanusia. Kita akan semakin mudah menyaksikan fenomena remaja saling rundung di media sosial hingga berlanjut pada pertengkaran fisik, bahkan pembunuhan atau bunuh diri. Pada kesempatan lain, orang-orang berpendidikan menyebarkan berita bohong tanpa disaring; ikatan-ikatan kekerabatan yang makin kendor. Fenomena kemerosotan nilai, termasuk dalam dunia pendidikan menjadi semakin nyata, yang ditunjukkan, antara lain, lewat peristiwa murid memukul guru, atau siswa merudapaksa sesama siswa. Pada saat yang sama, gejala xenomania muncul dan orang-orang muda tak lagi punya kepedulian untuk mengenal dan mencintai akar kultural yang diwariskan oleh generasi sebelum mereka.
Beberapa fenomena, sebagaimana yang telah disebutkan, dapat ditemukan di sekeliling kita, dalam konteks nasional hingga lokal. Dalam beberapa pengalaman melakukan penelitian di bidang sastra lisan dan budaya di wilayah Kepulauan Maluku, para informan menyatakan kegundahannya tentang minat dan kepedulian generasi muda terhadap kekayaan budaya berupa bahasa daerah, sastra lisan, tradisi lisan, taraf literasi, dan lain-lain, telah mengalami degradasi yang cukup memprihatinkan. James Collins dengan nada putus asa pernah menulis: “Kita sama-sama harus insaf bahwa sebagian besar bahasa yang disebut dan diceritakan dalam karangan ini sudah tergoyang di ambang kepunahan, malah ada yang sudah punah. Fakta ini sepatutnya menggerakkan generasi muda dan tua untuk mencari jalan dan menentukan langkah agar bahasa daerah di seluruh Maluku tetap terpelihara dan lestari sehingga selalu mampu mencerminkan budaya dan citra manusia, serta masyarakat Maluku”.
Fricean Tutuarima pernah menjelaskan tentang memudarnya pengetahuan, kesadaran, dan penghayatan relasi Pela Gandong di Maluku pada generasi yang lebih muda oleh sebab faktor pendidikan, migrasi, dan pewarisan antargenerasi. Tradisi tersebut masih tetap diketahui dan dipelajari sebagai pengetahuan kolektif; masih tetap dianggap sebagai tradisi yang harus dipertahankan. Tetapi, perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat pascakonflik Maluku memunculkan apa yang disebut sebagai semantic depletion, yakni pola perilaku menghayati tradisi hanya untuk kepentingan citra dan kesan, sementara penghayatan dan pengakuan hakiki mulai perlahan-lahan hilang.
Demikianlah kebudayaan sering dibiarkan bertumbuh “liar” dan menghidupkan dirinya sendiri. Bahkan, telah berkembang semacam ilusi yang menempatkan budaya sebagai takdir sehingga memicu fatalisme pada orang-orang yang kurang beruntung. Kebudayaan sering digunakan sebagai “air” untuk mematikan “api” masalah atau konflik, alih-alih memperlakukannya sebagai sistem pengetahuan yang harus hidup dan melekat serta bertumbuh dan terpelihara seiring pertumbuhan masyarakat. Para seniman, maestro tradisi, dan pelaku adat kebanyakan terpaksa menghadapi perubahan zaman sendirian dalam kecemasan akan tertinggal oleh deru modernitas. Modernitas pun sering menyebabkan manusia memperlakukan sejarah dan tradisi sebagai narasi tentang masa lalu semata, alih-alih menganggapnya sebagai media untuk mengenali nilai diri sendiri. Adat dan bahasa sering hanya dianggap penting dibarui perannya ketika terjadi persoalan-persoalan yang mengganggu keseimbangan masyarakat atau saat kepunahan menjadi fakta yang tidak bisa dibantah.
Kemunduran-kemunduran tersebut berkelindan dalam jejaring disrupsi yang terjadi seiring berkembangnya teknologi informasi. Disrupsi adalah istilah yang relatif baru muncul setelah sebelumnya dunia mengenal istilah globalisasi. Secara harafiah, disrupsi berarti ‘tercabut dari akarnya’. Lebih lanjut, disrupsi dapat dipahami sebagai perubahan fundamental akibat bergesernya aktivitas nyata manusia menuju virtual atau maya, oleh sebab ledakan internet dan media sosial. Marshall McLuhan mencetuskan istilah a global village untuk menamai fenomena hilangnya batas-batas geografis dan spasial oleh perkembangan teknologi internet yang, dewasa ini, sudah semakin merambah hingga ke daerah-daerah yang tadinya amat terpencil. Dalam ketegangan seperti itulah, terjadi arus manusia, arus media, arus teknologi, arus finansial, dan arus gagasan.
Dalam kenyataan yang demikian, tampaknya bahwa daerah-daerah periferi seperti Maluku tidak akan terhindarkan dari berbagai perubahan yang telah terjadi, bahkan berpeluang menjadi pusat global village dalam berbagai dimensi yang dapat dieksplorasi oleh warga dunia. Oleh karena itu, tampaknya keterampilan dan pengetahuan manusia menjadi komponen tak terpisahkan dari perkembangan itu. Pengetahuan dan keterampilan tidak seluruhnya berhubungan dengan semua yang bersifat positivistik tetapi juga tentang rasa, etika, dan estetika. Aspek-aspek yang disebut belakangan, di antara banyak aspek yang lain, tentu tidak bisa selalu didekati dengan pendekatan logis dan eksak tetapi sering bersangkutan dengan konvensi, konstruksi, bahkan kontradiksi. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran pengetahuan sosial dan budaya (humaniora) seyogyanya menduduki peran penting sebagai penyeimbang dan membentuk perilaku manusia di antara berbagai kecerdasan buatan yang sudah dan akan semakin berkembang.
Dalam ketegangan sedemikian itulah, lembaga-lembaga pendidikan, utamanya perguruan tinggi, menjadi benteng terakhir ketahanan budaya masyarakat. Mengapa demikian? Tentu saja karena perguruan tinggi sebagai institusi akademik menjalankan peran vital Tri Darma, yakni pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ketiga unsur tersebut menjadi saluran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menumbuhkan nilai dan karakter intelektual, serta mendekatkan masyarakat dengan etos dan etika keilmuan sebagai jalan paling tepat untuk memelihara peradaban manusia.
Amartya Zen, seorang ekonom berkebangsaan India, mengemukakan suatu penjelasan menarik dengan mengutip temuan Harrison dan Huntington dalam Culture Matters. Mereka menjelaskan bahwa pada awal 1990-an, Korea dan Ghana adalah dua negara dengan kemampuan ekonomi yang sama. Tiga puluh tahun kemudian, Korea Selatan telah menjadi raksasa industri dengan peringkat ekonomi ke-14 terbaik di dunia. Sedangkan Ghana, pada saat itu, tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pendapatan per kapitanya sekitar seperlimabelas dari pendapatan per kapita Korea Selatan. Keduanya bersepakat bahwa dalam fenomena tersebut, faktor budaya-lah yang paling berperan di antara banyak sekali faktor lain. Meskipun kemudian Zen memperlebar faktor penyebab munculnya perbandingan sedemikian bukan hanya soal budaya tapi juga perbedaan peran kelas bisnis, keadaan politik, hubungan perekonomian dengan negara maju lain seperti Jepang dan AS, serta perbedaan tingkat melek huruf antarkedua negara. Lebih lanjut, Zen menegaskan bahwa, lagi-lagi, budaya ikut berperan dalam proses pembangunan. Ia bukanlah sesuatu yang mandek. Menurutnya, di antara berbagai hal lainnya, persoalan budaya ikut dimasukkan dalam pertimbangan yang lebih utuh untuk mencermati perubahan sosial, maka mereka bisa sangat membantu memperluas pengertian tentang dunia, termasuk proses pembangunan dan sifat identitas kita.
Dengan demikian, pada masa itu dan sesudahnya, ilmu-ilmu sosial dan humaniora dianggap mampu melengkapi ilmu-ilmu alam untuk memahami alam semesta secara komprehensif. Yang dimaksudkan dengan “komprehensif” tentu adalah bahwa ilmu-ilmu alam tidak bisa secara utuh menjelaskan suatu fenomena semesta terkait dengan manusia dan kemanusiaan. Penelitian tentang bencana kesehatan akibat virus dapat dilakukan secara eksak melalui pendekatan ilmu mikrobiologi. Akan tetapi, bagaimana manusia bertahan dan menggunakan kemampuan sosial dan budayanya untuk mengatasi bencana selalu bisa dijelaskan melalui perspektif ilmu sosial humaniora. Ignas Kleden menyodorkan contoh lain sambil mengelaborasi pandangan Taufik Abdullah yang menyorot peran ilmu-ilmu sosial dan humaniora sebagai sistem pengetahuan saintifik (a system of scientific knowledge). Menurutnya, pembangunan ekonomi harus dibantu oleh ilmu-ilmu sosial nonekonomi dengan cara menyiapkan socialengineering yang mendorong institusi-institusi sosial dan nilai-nilai budaya untuk mendukung pembangunan ekonomi. Bila pembangunan ekonomi mengakibatkan dislokasi sosial dan disorientasi budaya dalam kalangan anggota masyarakat, gejala itu diperlakukan sebagai akibat sampingan, yang harus ditangani oleh ilmu-ilmu sosial nonekonomi. Dalam hal itu, ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak saja berperan sebagai ilmu terapan, tetapi juga sebagai ilmu bantu (ancillary sciences) yang sekaligus menjalankan tugas-tugas klinis dalam memperbaiki akibat-akibat sampingan sebagai clinical sciences.
Secara rinci, paradigma ilmu-ilmu humaniora dalam membangun peradaban manusia dapat disarikan oleh Jans bahwa hakikat dari ilmu humaniora dalam pembangunan manusia dan masyarakat terjelma dalam tiga hal penting. Pertama, mengatasi pandangan-pandangan yang keliru bahwa ia adalah sesuatu yang elite, terpisah dari kenyataan dan aktivitas keseharian. Kedua, ilmu humaniora ada sebagai wahana untuk memberikan penghargaan kepada mereka yang telah berjuang untuk mempromosikan dan mengintegrasikan kesenian dan kebudayaan. Ketiga, menyajikan harapan-harapan yang serta-merta mampu mengenali manfaat dari setiap strategi pembangunan manusia untuk memicu perubahan yang transformatif. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa jika kita menyepakati bahwa humaniora merangkul dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dari keadilan, kebebasan, persamaan hak, kebajikan, keindahan, serta kebenaran, kemudian mungkin hal-hal yang muncul sesudahnya adalah bahwa jika kita tidak dengan sengaja menanamkan pengetahuan kebudayaan pada ruang-ruang bersama, kita akan berisiko mengalami kehilangan nilai-nilai tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks pembangunan peradaban manusia, pengetahuan budaya atau humaniora dapat dipandang sebagai seperangkat sistem pengetahuan (yang dimungkinkan sebagai) saintifik yang mengidentifikasi, dan kemudian, mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dalam keseluruhan sistem pengetahuan itu sendiri. Kebudayaan dibutuhkan sebagai penjaga keseimbangan, ketika olehnya manusia bisa “dipaksa” untuk wawas diri, mengendalikan diri sendiri dalam membina relasi dengan alam semesta. Kebudayaan memiliki kemampuan untuk melakukan pembelaan terhadap semua yang minoritas, semua yang langka, semua yang hampir punah: bahasa, sastra, hukum adat, sistem norma, dan lain sebagainya, demi keberlanjutan umat manusia. Ilmu humaniora berdampingan dengan ilmu-ilmu alam dan eksakta untuk membentuk menjadi sistem pengetahuan semesta yang komprehensif untuk dijalankan secara simultan, setidaknya sebagaimana yang telah disaksikan dalam kemajuan peradaban manusia, sampai pada masa sekarang.
Maluku adalah salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Hampir semua indikator yang menjadi penentu taraf hidup masyarakat menempatkan Maluku pada urutan bawah. Ironisnya, Maluku menjadi salah satu dari delapan provinsi yang “melahirkan” Indonesia merdeka pada tahun 1945. Seharusnya, hingga usia kemerdekaan yang sudah mendekati delapan dasawarsa, Maluku telah berdiri setara dengan provinsi lain di Pulau Jawa, Bali, atau Sumatera, terutama di bidang ekonomi yang berelasi dengan angka kemiskinan. Akan tetapi, situasi yang terbentang di depan mata sungguh jauh panggang dari api. Pada pengukuran angka kemiskinan dengan mengacu pada enam indikator pokok, yakni: kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pangan, air minum, dan perumahan, dengan persentase sebesar 17,69, Maluku mencatatkan diri sebagai provinsi termiskin keempat di Indonesia.
Salah satu pertanyaan penting dalam beragam diskusi yang cukup sulit dipuaskan dengan jawaban dan penjelasan adalah: “Mengapa dalam banyak hal, termasuk pendidikan, Maluku masih jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia?” Tentu sebagian besar orang selalu akan memberikan argumen sesuai dengan kepentingan mereka seputar kemiskinan, keterisolasian, ketidakhadiran negara, marginalisasi, literasi, kualitas pendidikan, layanan kesehatan, dan sebagainya. Argumen-argumen tersebut lalu disejajarkan dengan berbagai hasil studi berupa data dan angka yang tidak akan jauh-jauh dari persentase penduduk miskin, pertumbuhan ekonomi, keluarga prasejahtera, taraf literasi, dll.
Jika kita mengamati lini masa media sosial, kita dapat menemukan banyak sekali kegelisahan, tidak hanya tentang sarana dan prasarana yang jauh dari harapan tetapi juga tentang kesadaran untuk menjaga dan memelihara, termasuk soal-soal karakter dan etika yang semakin problematik pada era ini. Persoalan sampah, penebangan hutan, pemukiman liar, vandalisme, degradasi nilai, dsb, ternyata tidak hanya ditemukan sebagai citra kegagalan belajar dan memahami ilmu dan pengetahuan, melainkan ditentukan oleh wawasan atau pengetahuan budaya dari masyarakat. Demikian pula dengan angka pengangguran dan putus sekolah yang tinggi, taraf literasi yang rendah bukan melulu tentang kegagalan konsep dan kebuntuan praktik birokrasi melainkan juga tentang etos dan kesiapan masyarakat secara budaya untuk menyadari dan mengubah perilaku sebagai agen perubahan.
Berdasarkan hal itu, kita boleh berkesimpulan sementara bahwa persoalan kemiskinan dan ketertinggalan di Maluku adalah suatu situasi kompleks yang ditentukan oleh penguasaan teknologi, pengetahuan, dan faktor politis lain, tetapi lebih banyak bergantung pada faktor manusia sebagai determinan utama. Faktor manusia itu sesungguhnya berkenaan dengan budaya sebagai penentu paling pokok dari sikap dan etos kolektif. Implementasi sikap dan etos budaya dapat diidentifikasikan melalui hal-hal sederhana, misalnya: manajemen sampah, sikap dan minat terhadap bahasa daerah, nasionalisme, dan lain sebagainya. Tinjauan terhadap persoalan-persoalan yang sesungguhnya amat kompleks itu akan menuntun pada kesimpulan penting bahwa budaya-lah yang menjadi penentu akhir keberhasilan suatu masyarakat dalam pembangunan. Hal ini paralel dengan contoh yang telah dikemukakan sebelumnya dalam perbandingan yang dilakukan Zen terhadap Korea dan Ghana. Oleh karena itu, vitalitas dan pemajuan kebudayaan mesti diutamakan sebagai pendorong dalam pengentasan persoalan-persoalan pembangunan.
Dalam soal-soal sebagaimana telah dijelaskan di atas, Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, sesungguhnya telah lebih dahulu merasionalisasikan tiga alasan penting yang menjadi dasar pertimbangannya, yaitu: (a) bahwa Negara memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dan menjadikan Kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) bahwa keberagaman Kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah dinamika perkembangan dunia, dan; (c) bahwa untuk memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia, diperlukan langkah strategis berupa upaya Pemajuan Kebudayaan melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan.
Pada bagian (c), disebutkan bahwa pemajuan kebudayaan Indonesia memerlukan langkah strategis berupa upaya Pemajuan Kebudayaan melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan. Seluruh kata kunci itu sesungguhnya secara komprehensif paling mungkin akan menjadi signifikan bila mampu digerakkan oleh peran perguruan tinggi yang memiliki modal, sumber daya, metodologi, serta unsur-unsur pendukung lainnya. Perguruan tinggi dimungkinkan menjadi hulu pemajuan kebudayaan dalam fungsi sebagai insititusi yang menyediakan layanan pembelajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat. Dalam ketiga ciri perguruan tinggi itulah terkandung secara implisit seluruh kata kunci yang berkaitan dengan pemajuan kebudayaan. Persoalan pentingnya adalah, tidak semua perguruan tinggi mampu mengonstruksi wawasan keilmuan yang memberikan ruang cukup luas bagi pemajuan kebudayaan tersebut.
Lebih lanjut, ada beberapa catatan penting yang dapat diajukan sebagai proposisi. Pertama, secara parsial, pada berbagai mata kuliah di fakultas-fakultas yang sudah ada, dalam hal ini pada Universitas Pattimura sebagai contohnya, perspektif budaya telah disertakan sebagai bahan kajian. Misalnya, pada Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan, Jurusan Agrobisnis Perikanan (S1), ada beberapa mata kuliah yang merambah dimensi kebudayaan dari bidang ilmu perikanan, yakni: Sosial Budaya Masyarakat Perikanan Kelautan Wilayah Kepulauan, Kearifan Lokal Masyarakat Kepulauan, dan Gender dan Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan. Demikian pula pada Fakultas Hukum, beberapa mata kuliah yang merambah dimensi budaya, yakni: Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Agraria. Meskipun demikian, dapat dipastikan bahwa dalam bingkai kurikulum yang bersangkutan, budaya menjadi bahan komplementer yang digunakan hanya untuk memahami aspek-aspek yang mengarsir wilayah studi atau bahan kajian inti. Sementara itu, kebudayaan sebagai pengetahuan keseluruhan tentang masyarakat tentu punya daya jangkau yang tidak sempit dan selalu berkembang.
Kedua, dalam 10 objek pemajuan kebudayaan di atas, sesungguhnya daya asimilasi kurikulum dan sebaran fakultas yang menyediakan alternatif saluran untuk mempelajari ilmu budaya dapat dipetakan dengan mudah, apalagi jika dibandingkan dengan daya asimilasi universitas-universitas besar yang memiliki fakultas ilmu budaya atau ilmu humaniora. Fakultas ilmu budaya dapat menjadi kiblat jargon center of excellence dalam konteks budaya kepulauan Maluku yang eksotis, unik, dan “seksi”. Segala hal tentang kebudayaan Maluku bukan hanya dipelajari, diteliti, namun juga dirawat dan dilestarikan, sehingga mendukung upaya pemajuan kebudayaan Indonesia yang majemuk, merata, dan berkarakter. Jika hal itu dipahami dalam konteks era disrupsi, adanya fakultas ilmu budaya dapat memantapkan jejak suatu institusi perguruan tinggi dalam menciptakan sistem saintifik yang menyeluruh yang berdampak pula pada pembangunan masyarakat yang berbudaya. Hal mana yang seharusnya menjadi fokus utama pembangunan negara unutk menciptakan kekhususan-kekhususan untuk berkompetisi secara global.
Ketiga, persoalan utama terkait bidang ilmu di dalam suatu institusi pendidikan tinggi setidaknya bermuara pada tiga hal: kurikulum (termasuk proses), sumber daya manusia, dan dampaknya terhadap masyarakat (partisipasi, kerja sama, serapan lulusan). Dalam kompetisi di bidang pendidikan tinggi pada era sekarang, hal terpenting yang mesti dipikirkan adalah menciptakan karakter khusus sehingga memperkaya kajian-kajian budaya. Sebagai contoh, Universitas Pattimura telah melakukannya dengan merumuskan visi dan misi serta PIP Bina Mulia Kelautan namun perlu memberi penekanan terhadap studi-studi kebudayaan kepulauan dan kelautan sesuai dengan pokok-pokok pemajuan kebudayaan. Selama studi kebudayaan masih melekat pada fakultas lain yang memiliki fokus bukan murni pada kebudayaan, hasrat saintifik untuk menciptakan Liberal Arts Education pada konteks wilayah kepulauan masih belum dapat terpenuhi.
Keempat, dewasa ini, ketersediaan pasar kerja telah cukup akomodatif berkenaan dengan bidang-bidang pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan kebudayaan. Persoalan yang timbul dalam masyarakat yang hipermodern, mau tidak mau, memerlukan perspektif kebudayaan dalam resolusinya. Multikulturalisme telah mendapatkan landasannya sebagai suatu nilai penting untuk menciptakan keseimbangan-keseimbangan sosial. Karena itu, bidang-bidang pekerjaan baru akan semakin terbuka lebar. Pekerjaan sebagai analis kebijakan, youtuber, peneliti, guru bahasa, penerjemah, antropolog, pekamus, seniman, dll, akan terus berkembang dalam kemungkinan-kemungkinan baru yang ditawarkan oleh dinamisasi teknologi internet yang masif dan cepat. Apalagi, ditemukannya sumber-sumber kekayaan alam potensial di Maluku dan Indonesia Timur akan menempatkan bidang kebudayaan sebagai bidang strategis yang pemanfaatan dan pemenuhan kebutuhannya akan tergantung pada wawasan dan cara pandang masyarakat. Fungsi perguruan tinggi, dalam hal ini, tidak lain, adalah menjadi pusat pembentukan sumber daya manusia yang akomodatif dengan tuntutan masa.
Terakhir, tampaknya isu pelestarian dan pemajuan kebudayaan masih menjadi alasan paling utama dalam pembahasan sejauh ini. Teknologi bisa dimiliki semua bangsa, akan tetapi hanya kebudayaan adalah ciri khusus yang saling membedakan dan memperkaya keragaman manusia. Dalam konteks era disruptif, kebudayaan masih bisa dipercaya sebagai penciri suatu masyarakat yang unggul, meskipun fakta mengenai akulturasi dan asimilasi selalu menjadi keniscayaan. Apabila suatu bahasa hilang secara perlahan maka peradaban suatu kaum akan juga perlahan menjadi hilang. Apabila tradisi lisan hilang maka karakteristik penciri suatu folk pun ikut hilang. Meskipun masyarakat selalu punya cara untuk menemukan dan membangun kesadaran budaya, peran lembaga-lembaga pendidikan, terutama lembaga-lembaga pendidikan tinggi akan menjadi sangat signifikan untuk mengembalikan kebudayaan pada tempat yang sesungguhnya. Perguruan tinggi di Maluku perlu memikirkan kemungkinan pembukaan fakultas ilmu budaya untuk merebut peran sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi terdepan di Indonesia Timur dalam hal partisipasi dalam pemajuan kebudayaan, sekaligus berperan dalam pelestarian kebudayaan Maluku demi kemajuan masyarakat dan bangsa.
Penulis adalah seniman dan dosen Universitas Pattimura Ambon