Ambon, MalukuPost.com – Sidang Sinode ke-39 Gereja Protestan Maluku (GPM) tahun 2025 menjadi momentum bersejarah yang tidak hanya membahas arah pelayanan gereja menuju satu abad eksistensinya, tetapi juga menentukan figur pemimpin baru yang akan menakhodai perjalanan rohani, sosial, dan kelembagaan GPM lima tahun ke depan.
Tiga nama kini mengemuka dalam percakapan sinode — Dr. Hengky Herson Hetharia, Pdt. Sacharias Izaak Sapulette, dan Pdt. Dr. Rudy Rahabeat. Ketiganya membawa kekuatan dan karakter kepemimpinan yang berbeda, namun berpadu dalam satu semangat: melayani gereja Tuhan dengan integritas dan kasih.
Dr. Hengky Herson Hetharia — Akademisi yang Menawarkan Perspektif Kelembagaan
Sebagai mantan Rektor Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) periode 2021–2025, Dr. Hengky Herson “Sonny” Hetharia dikenal luas sebagai figur akademik dan organisator yang menekankan pentingnya pendidikan, riset, dan tata kelola kelembagaan.
Di bawah kepemimpinannya, UKIM mengalami berbagai pembenahan strategis: penataan struktur rektorat, peningkatan akreditasi, serta penguatan kultur akademik di lingkungan sivitas.
Kehadiran Hetharia di gelanggang sinode menawarkan warna tersendiri — intelektualitas yang teruji dan kemampuan manajerial yang kuat. Ia diyakini mampu mendorong GPM menjadi gereja dengan tata kelola yang lebih profesional dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Namun, tantangan yang dihadapinya cukup nyata: mampukah seorang akademisi menembus sekat administratif gereja dan hadir di tengah denyut pastoral jemaat akar rumput? Di sinilah Hetharia diuji — bahwa ilmu dan iman, teori dan pelayanan, dapat berjalan beriringan dalam semangat gerejawi.
Pdt. Sacharias Izaak Sapulette — Administrator Gereja yang Menawarkan Konsistensi

Sapulette dikenal tenang, sistematis, dan menguasai detil manajemen organisasi gerejawi. Ia berperan penting dalam memastikan kesinambungan pelayanan di masa-masa sulit, termasuk periode pandemi dan transisi sosial setelahnya.
Sebagai figur birokrat gerejawi, kekuatan Sapulette adalah stabilitas dan kontinuitas. Namun di sisi lain, ia juga menghadapi tantangan khas seorang pejabat inkumben: bagaimana membawa pembaruan tanpa terjebak pada kesan mempertahankan status quo.
Dalam Sidang Sinode ke-39 ini, Sapulette diharapkan mampu menghadirkan visi baru — peta jalan pelayanan yang memadukan pengalaman administratif dengan semangat transformasi gereja.
Pdt. Dr. Rudy Rahabeat — Inovator Pelayanan dan Suara Reflektif Gereja

Rahabeat membawa semangat pembaharuan dan digitalisasi pelayanan — gagasan yang sejalan dengan dinamika generasi muda gereja. Ia merepresentasikan kepemimpinan visioner yang terbuka terhadap dialog lintas disiplin dan kolaborasi lintas generasi.
Namun, tantangannya tidak ringan. Rahabeat perlu memperluas jangkauan kepemimpinannya dari ruang refleksi ke tataran implementasi pelayanan di tingkat klasis dan jemaat. Meski demikian, di tengah arus perubahan, suaranya menjadi oase harapan bagi mereka yang rindu gereja yang relevan dan progresif.
GPM di Persimpangan Sejarah
Ketiga figur ini — Hetharia dengan kekuatan akademiknya, Sapulette dengan keteguhan administratifnya, dan Rahabeat dengan inovasi teologisnya — melambangkan tiga wajah kepemimpinan gereja masa kini: intelektual, birokratis, dan visioner.
Pilihan di antara mereka bukan semata soal siapa yang populer, tetapi siapa yang paling mampu menjawab kebutuhan GPM hari ini: gereja yang berhadapan dengan modernitas, krisis lingkungan, serta dinamika iman di tengah masyarakat yang terus berubah.
Menjelang satu abad pelayanannya, GPM dituntut menjadi gereja yang tangguh, adaptif, dan tetap setia pada panggilannya: membangun iman, memperkuat persaudaraan, dan menjadi terang bagi dunia.
Karena seperti tema Sidang Sinode kali ini mengingatkan, “Anugerah Allah Melengkapi dan Meneguhkan Gereja Menuju Satu Abad GPM.”
Pemimpin boleh berganti, tetapi kasih, pelayanan, dan pengharapan itulah yang akan terus menuntun langkah GPM di bumi Maluku.


