Opini Falantino Eryk Latupapua
Kalau hari-hari ini Anda ingin memahami hubungan antara jadwal dan kekuasaan, lihatlah tangkapan layar ponsel yang beredar di lini masa media sosial yang berisi penjadwalan ASN dalam lingkungan OPD untuk mengunjungi warung makan yang di atas kertas dikelola oleh ibu-ibu PKK. Rasanya janggal memikirkan bahwa ada orang-orang tertentu yang merasa cukup punya kewenangan untuk mengatur cara orang memuaskan rasa laparnya hanya demi menangguk kapital. Kalau Anda ingin melihat contoh kepemimpinan autokratis, lihatlah bagaimana pemimpin-pemimpin politik melakukan upaya memperkaya anggota keluarga melalui manipulasi aset dan proyek pemerintah sembari mengebiri hak-hak pekerja honorer dan ASN yang hanya bisa diam di dunia nyata namun gencar melancarkan protes di media sosial dengan menggunakan akun anonim. Jika Anda ingin melihat contoh anarki yang berlangsung terang-terangan, lihatlah cara pemerintah daerah ini memutuskan program mana yang layak dibiayai dengan alasan urgensi bagi pembangunan masyarakat dengan menggunakan mitos dan pernyataan-pernyataan pseudosains sebagai rasionalisasi. Padahal ujung-ujungnya program-program itu tidak menjawab kebutuhan dasar masyarakat tetapi semata-mata untuk kepentingan pencitraan dan memuaskan hasrat bagi-bagi di antara mereka sendiri.
Pada sisi yang lain, lembaga-lembaga pendidikan dan pranata agama sebagai penanam nilai dan penjaga moralitas pun bergelut dengan kelindan masalah kepemimpinan yang juga tidak jauh-jauh dari ciri autokratis: Berpusat pada diri sendiri. Ada kampus memberangus inisiasi mahasiswa yang mengampanyekan isu kekerasan seksual dengan cara memberi hukuman disiplin namun cenderung menutupi perilaku curang dan tidak terpuji yang dilakukan oleh dosen. Demikian juga oknum pemimpin agama yang tidak selaras antara khotbah dengan perbuatannya. Otoritarianisme bahkan menggayuti manajemen pranata agama hingga pada tingkatan paling rendah. Dalam konteks demikian, model kepemimpinan yang penuh pragmatisme seperti itu cenderung menyaru seperti Dasamuka: hangat sekaligus dingin, senyum sekaligus cibir, peduli sekaligus penuh pengabaian.
Jika ditarik benang merah antara jejaring semua dimensi dan konteks relasi kekuasaan dan model kepemimpinan itu, orang akan mudah menemukan jawabannya: Kapital. Secara sederhana, alasan paling umum tentang menipulasi kekuasaan menjadi atokratis adalah uang. Kekuasaan tanpa kapital akan berubah menjadi kekosongan. Ia tidak akan diperebutkan dengan taruhan nama baik bahkan nyawa. Jika sudah begini keadaannya, semua mimpi-mimpi kolektif akan selalu kembali ke titik nadir, membentur tembok, dan hancur berkeping-keping. Semua hal baik yang dilakukan selama masa kepemimpinan yang autokratis akan mudah dilupakan. Nila beberapa titik merusak segalon susu.
Demikianlah, kepemimpinan autokratis (penghalusan dari istilah ‘otoritarian’) adalah ekses proses politik yang menjadi musibah beruntun, menjerembabkan daerah ini ke jurang gelap. Robbins dan Coulter mendeskripsikan kepemimpinan yang autokratis sebagai ‘cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri’, ‘mendikte cara orang lain berpikir dan bekerja’, ‘membuat keputusan sepihak’, serta ‘meminimalisasi partisipasi orang lain’. Sekali lagi, inilah model kepemimpinan yang sedang kita hadapi di mana-mana. Jika kita cukup terlatih untuk mempertajam kesadaran dan belajar dari sejarah, kita akan mahfum bahwa otoritarianisme, autokrasi, sangat erat pertaliannya dengan anarkisme dan penyalahgunaan wewenang sebagai bentuk kejahatan terhadap rakyat yang penguasaan mayoritasnya semakin ganas dikebiri oleh proses-proses politik yang penuh negosiasi. Lalu, tentu saja, mereka punya mekanisme sendiri untuk membuat orang tetap diam dan taat, termasuk dengan cara memaki-maki dengan membabi-buta dengan alasan pendisiplinan.
Tidak gampang menjadi orang Maluku dengan tubian fakta tentang kemiskinan, ketertinggalan, taraf alibaca rendah, pendidikan terpuruk, indeks pembangunan manusia di bawah rata-rata nasional, serta sederet predikat buruk lain. Ironisnya, cara kekuasaan menutupi kelemahan kepemimpinan biasanya dengan memanipulasi paradoks; menjejerkan baliho diri yang tengah tersenyum lebar dan memamerkan piagam penghargaan dalam aneka kategori yang, beberapa di antaranya, bisa diperoleh dengan cara membayarkan sejumlah uang. Nun di sudut kota, di pulau-pulau yang sulit terjangkau, di negeri-negeri pegunungan yang marginal, masyarakat berjibaku dengan pendapatan minim di tengah akumulasi kebutuhan dasar yang semakin hari semakin mencekik. Kekurangan guru, orang sakit harus ditandu, dana desa dipakai untuk kebutuhan yang tidak perlu adalah potret yang bisa kita hasilkan dengan mata telanjang pada masa sekarang. Beberapa di antara sedikit hal yang masih cukup menghibur kita adalah alam yang indah dan kaya, lagu di mana-mana, dan kita snang-snang sa.
Pola kepemimpinan autokrasi dalam konteks seperti ini mengindikasikan bahwa kekuasaan makin kebingungan dengan konsep diri mereka. Jika sudah merasakan orgasmus kekuasaan, mereka cenderung melupakan jawaban atas pertanyaan ‘untuk apa mayoritas rakyat memilih saya?’ Jenis disorientasi seperti inilah yang disebut oleh Hannah Arendt sebagai banalitas kekerasan., yakni permakluman terhadap tindakan kejahatan bahkan oleh mereka yang melakukannya. Sederhananya, kesewenang-wenangan, meskipun merugikan, dianggap harus ada, misalnya dengan tujuan supaya orang belajar tentang kebenaran dan kebaikan. Fenomena ini selalu mengerucut pada rakyat yang pada mulanya butuh disentuh dan diberdayakan. Mereka sakit dan bingung tapi dipaksa untuk bungkam dan menerima seakan tiada daya.
Banyak orang menganggap bahwa cara melawan kekuasaan yang autokratis adalah dengan perlawanan frontal. Hal itu tampak misalnya melalui berbagai wacana perlawanan melalui media massa dan jejaring media sosial meskipun ujung-ujungnya akan kembali berhadapan dengan kekuasaan yang menindas. Konsekuensi yang dihadapi dengan model perlawanan seperti itu, antara lain: Dijerat dengan pasal karet UU ITE, mutasi ke dinas ‘pembuangan’, dan pengebirian jabatan dan kewenangan. Pada akhirnya, dalam konteks yang demikian, lawan paling akut dari otoritarianisme adalah waktu. Mereka yang tidak punya daya untuk melakukan perlawanan dapat melatih kesabaran untuk menunggu. Menunggu adalah bentuk pasifikasi yang berpeluang mengulang sejarah melihat kekuasaan autokratis jatuh karena waktu sembari mengabaikan bahwa sumber daya individual bisa digunakan secara optimal untuk berperan dalam mengakhiri kesewenang-wenangan. Bagi saya, pilihan untuk melawan adalah dengan menjaga jarak dan menggunakan setiap saluran untuk membangun kesadaran, di antaranya melalui tulisan-tulisan seperti ini. Apalagi, media sosial justru telah menjadi situs pertukaran wacana yang tanpa batas, sehingga orang dapat memanfaatkannya secara maksimal untuk tujuan-tujuan konstruktif namun dibungkus dengan cara-cara yang elegan dan terpelajar.
Pada akhirnya, secara idealis, menjadi pemimpin adalah selalu tentang mengalahkan diri sendiri, bukan tentang perlawanan atau resistensi massa. Sebab, menganggap diri sebagai ‘yang paling’ adalah persemaian yang subur bagi bibit-bibit autokrasi. Arendt menyebutkan secara eksplisit beberapa unsur yang memengaruhi munculnya banalitas kejahatan, yakni: Mentalitas normal, ketidakmampuan berpikir, nurani tidak berfungsi, sistem totaliter, penilaian estetis dan arogansi moralitas, serta tanggung jawab individu. Jadi,sosok pemimpin ideal adalah mereka yang mampu mengeliminasi ekses perilaku yang mendorong banalitas kekerasan dalam kepemimpinannya. Oleh sebab itu, dalam masa kepemimpinan yang akan datang, kitab bisa mulai menyiapkannya dari sekarang. Mari mencermati siapa saja yang punya rekam jejak menjadikan rekan kerja, rakyat yang dipimpin, dan elemen manajeman lain sebagai remah-remah yang disingkirkan ke pinggir piring karena tidak ingin dimakan. Apakah figur pemimpin sesempurna itu ada? Apakah autokrasi dapat sepenuhnya dihindari? Kita bisa mulai bertanya pada kusu-kusu yang bergoyang di pelataran warung sana. (*)
Penulis adalah Dosen Universitas Pattimura, Mahasiswa Doktoral Ilmu Susastra/Culture Studies FIB Universitas Indonesia