Pemilihan umum (pemilu) menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi suatu bangsa. Dalam konteks ini, falsafah Ain Ni Ain menyodorkan pada kesadaran kebinekaan guna menciptakan lingkungan politik yang damai dan inklusif.
Maluku sebagai salah satu potret keragaman nasional, baik etnis, budaya, agama, maupun sebaran pulau-pulau memiliki kompleksitas tersendiri dalam menghadapi momentum penyelenggaraan pemilihan umum.
Secara harafiah, “Ain Ni Ain” berarti “satu punya satu”. Secara lebih luas, “Ain Ni Ain” bermakna “Saling memiliki satu sama lain”. Dalam konteks kebinekaan, “Ain Ni Ain” mencerminkan makna dan substansi hubungan erat dalam bentuk saling memahami, menghormati antarindividu atau kelompok beda latar belakang, keyakinan, atau karakteristik sebagai kekayaan sekaligus bagian integral dalam kehidupan bangsa.
Tulisan ini mencoba menyodorkan sebuah falsafah “Ain Ni Ain” guna membangun kesadaran kebinekaan dalam mendukung penyelenggaraan pemilihan umum yang damai.
Pertama, kesadaran politik menjadi fondasi utama. Demokrasi bukan hanya sekadar bentuk pemerintahan, tetapi lebih dari itu merupakan filosofi kehidupan. Kesadaran politik yang rendah berakibat pada kurangnya tingkat partisipasi dalam pemilihan umum. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Pemilu 2019, Maluku menduduki peringkat ke-5 angka golput tertinggi nasional. Terdapat 20,82% pemilih berdasarkan DPT tidak menggunakan hak suara. Untuk itu diperlukan edukasi tentang pentingnya partisipasi publik dalam membangun demokrasi dan kesetaraan setiap warga negara. Adanya jaminan akan hak asasi manusia sebagai landasan moral untuk keadilan dan martabat kemanusiaan. Dari situlah terbentuk penghargaan terhadap perbedaan politik sebagai kunci dalam menjaga dinamika dan kreativitas demokrasi.
Kedua, dialog menjadi sarana efektif dan memainkan peran krusial untuk membangun pemahaman bersama. Perjanjian Malino tahun 2002 di Ambon adalah wujud konkrit bagaimana orang Maluku menyelesaikan konflik sosial yang kompleks dan berkepanjangan dengan pendekatan dialogis. Tak luput dalam konteks politik, dialog menciptakan ruang komunikasi terbuka untuk saling mendengarkan dan memahami perspektif masing-masing. Hal ini tidak hanya mengurangi ketegangan dan konflik, tetapi juga menciptakan atmosfer kepercayaan, mengubah perbedaan pandangan politik menjadi kekayaan intelektual yang dinamis dalam mengatasi konflik kepentingan.
Ketiga, komunikasi konstruktif. Maksudnya adalah menggunakan komunikasi sebagai alat untuk memahami berbagai pandangan politik, merayakan perbedaan, dan menciptakan lingkungan yang mendukung dialog produktif. Salah satu contoh kasus di Indonesia dapat dilihat pada situasi politik yang berkembang menjelang, saat, dan setelah pemilihan umum presiden tahun 2019. Pada saat itu, terjadi polarisasi politik cukup tajam antara pendukung kedua kandidat, termasuk demonstrasi massa, klaim kecurangan pemilihan dan ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu. Komunikasi produktif sebagai jalan tengah pun dilakukan. Joko Widodo (Jokowi) mengajak Prabowo Subianto bergabung ke dalam Kabinet Indonesia Maju sebagai bagian dari upaya meredakan tensi politik yang berkembang dengan adanya penyatuan konsepsi tentang ide-ide dan konsep pembangunan. Dengan demikian, komunikasi konstruktif menjadi kunci untuk membangun atmosfer yang inklusif dan mendukung proses demokrasi yang sehat.
Keempat, penggunaan media sosial secara bertanggung jawab dengan spirit “Ain Ni Ain” membantu membangun kesadaran kebinekaan. Kampanye melalui media sosial menekankan penyebaran informasi secara akurat dan menghindari hoaks yang dapat memicu konflik. Masalah konkret dalam pemilu di tanah air adalah penyebaran informasi palsu, yang dapat menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan terhadap integritas pemilihan. Untuk itu perlu didorong kampanye positif dan beretika dari kandidat dan pendukungnya. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat menciptakan lingkungan politik yang lebih sehat dan demokratis.
Kesimpulannya, implementasi falsafah “Ain Ni Ain” yakni saling memiliki satu sama lain, dapat membawa pada kesadaran kebinekaan dalam pendukung penyelenggaraan pemilihan umum yang damai melibatkan pendekatan holistik adalah langkah-langkah kunci dalam menciptakan lingkungan politik yang inklusif dan damai. Dengan membangun kesadaran kebinekaan, kita dapat melangkah menuju pemilihan umum yang mewakili seluruh spektrum masyarakat dan memperkuat dasar demokrasi di Negeri Raja-Raja.
Penulis adalah Ketua Bengkel Sastra Nuhu Evav, tinggal di Watdek-Langgur, Maluku Tenggara.