Ambon, MalukuPost.com – Hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga mengakui badanya hak ulayat masyarakat hukum adat di berbagai wilayah di Indonesia, yang telah lebih dulu ada dan mendiami tanah-tanah di Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Walaupun tidak dijelaskan secara detail mengenai pengertian hak ulayat, namun Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memberikan pengakuan terhadap adanya hak ulayat dalam hukum pertanahan nasional.
Hak ulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum adat tertentu, atas tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya. Meskipun demikian, ketentuan dalam UUPA juga memberikan batasan terkait dengan eksistensi dari hak ulayat masyarakat hukum adat.
Adapun batasan tersebut adalah sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Investasi Pertambangan Migas Di Tanimbar
Secara sederhana pertambangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dengan penggalian kedalam tanah untuk mendapatkan sesuatu yang berupa hasil tambang. Sumber daya tambang merupakan salah satu kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan di dalam air. Sumber daya tambang yaitu bahan galian tambang yang
diperoleh dengan menggali maupun dengan cara mengambil di bagian permukaan bumi termasuk yang berada di bawah air.
Pasal 3 UU Migas menyebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan untuk menjamin efektivitas serta efisiensi melalui mekanisme yang berkelanjutan serta transparansi. Masyarakat hukum adat di Kabupaten Kepulauan Tanimbar dalam konteks pengelolaan kekayaan alam khususnya sumber daya tambang, menempati dua posisi, yaitu pertama, masyarakat dalam kedudukannya sebagai objek, yaitu masyarakat adalah yang pertama-tama menjadi sasaran utama untuk menerima manfaat dan hasil kekayaan alam, guna mencapai taraf kehidupan sejahtera dalam arti yang luas, yaitu masyarakat memperoleh jaminan sosial, fasilitas Pendidikan, fasilitas Kesehatan dan lain-lain yang salah satunya dibiayai dari hasil kekayaan alam yang ada dalam wilayah hukum Indonesia.
Kedua, masyarakat dalam kedudukannya sebagai subyek, yakni masyarakat mempunyai hak yang sama dengan Lembaga usaha lain, dalam mengelola bahan galian sekaligus memanfaatkan secara bijaksana. Namun secara khusus mengenai pengolahan sumber daya alam untuk investasi migas, serta hak-hak masyarakat hukum adat dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dilindungi hak-haknya di dalam peraturan perundang-undangan.
Masyarakat seharusnya diberikan kesempatan untuk ikut mengusahakan bahan galian yang ada, dengan tetap memperhatikan aspek-aspek teknis pengolahan Migas yang baik dan keseimbangan lingkungan atau berlandaskan pada konsep pertambangan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan UU Migas sebagai peraturan yang menurut tata urutan peraturan perundang-undangan secara umum tidak mengatur secara khusus baik tentang keterlibatan masyarakat maupun aspek ganti rugi bagi masyarakat yang dinilai jauh dari harapan keadilan.
Undang-Undang nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 1 angka 19 yang berbunyi Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 1 angka 18 yang berbunyi; “Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Pasal 11 Ayat 3 huruf i mengatakan Bahwa Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud ayat wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu tentang kewajiban pascaoperasi pertambangan.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha Pertambangan Migas
Menurut pemahaman yang ditulis tiga (3) orang Akademisi Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Andi Dharma Ratumasa, Teng Berlianty, dan Mahrita Aprilya Lakburlawal, penyelenggaraan investasi pertambangan migas dalam kehidupan masyarakat secara umum sangat memiliki dampak yang besar bagi kondisi pembangunan daerah bahkan negara. Namun banyak permasalahan yang ditimbulkan dalam proses penyelenggaraannya, dikarenakan upaya mensejahterakan masyarakat masih belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat hukum adat secara khususnya.
Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur secara spesifik tentang Pengolahan Minyak dan Gas Bumi serta Penanaman Modal merupakan instrumen Undang-Undang yang secara jelas menguatkan prinsip-prinsip pengelolaan pertambangan negara demi kemakmuran dan pemanfaatan ekonomi yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Kegiatan pertambangan pada hakikatnya ialah usaha pengambilan bahan galian dari dalam bumi. Pertambangan merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan, pengolahan, pemanfaatan dan penjualan. Terkait dengan pengelolaan tambang yang berada di wilayah masyarakat hukum adat, memiliki pengaruh dan dampak yang luas bagi masyarakat hukum adat itu sendiri. Pengaruh tersebut tidak hanya berkaitan kegiatan pengembangan ekonomi dan produksi tambang, namun juga masalah-masalah sosial dan budaya, juga lingkungan tempat tinggal masyarakat adat.
Seperti contoh pada Blok Masela. Pengadaan tanah untuk blok masela seharusnya tidak hanya menggunakan aspek atau pendekatan legalitas semata, tetapi pelaksana proyek juga harus melihat kondisi yang ada di masyarakat di sekitar lokasi pertambangan migas ini, agar supaya tidak memunculkan konflik berkepanjangan di masa yang akan datang.
Pemerintah pusat dalam hal ini telah mengupayakan untuk melakukan pembebasan lahan bersama dengan Inpex sebagai salah satu investor yang telah memenangkan putusan Pengadilan Negeri Saumlaki dengan sejumlah ganti rugi kepada masyarakat atas gugatan yang dilakukan oleh pihak masyarakat hukum adat yang berdampak langsung dengan wilayah investasi pertambangan migas ini. Akan tetapi faktanya bahwa resiko tentang pembebasan lahan ini mengalami hambatan yang sampai sekarang belum memiliki kejelasan status ganti rugi bagi masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat yang berada di pulau Nustual menganggap bahwa tanggung jawab investor dalam hal ini Inpex, tidak memenuhi rasa keadilan mereka dengan memenuhi kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Keberatan yang diajukan bagi pemerintah dengan penentuan harga tanah untuk pembangunan Pelabuhan kilang gas alam lapangan abadi blok masela dengan luas lahan mencapai 29 hektar atau sekitar 117358.8 m2.
Persoalan yang begitu krusial terkait luas tanah dengan biaya ganti rugi yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat hukum adat yang berada pada pulau Nustual maka mereka mengajukan ganti rugi sebesar Rp. 172.000 per meter persegi pada Pengadilan Negeri Saumlaki dan hal itu telah dikabulkan. Namun pihak investor mengajukan banding ke Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Negeri Saumlaki dan pada akhirnya Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Saumlaki dan menetapkan harga ganti rugi menjadi Rp. 14.000 per meter persegi.
“Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat dan daerah, untuk dapat memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat yang terdampak langsung terhadap investasi blok masela Pemanfaatan kilang Blok Masela ini adalah salah satu proyek strategi nasional yang bernilai tinggi dengan kisaran nilai mencapai 19,8 miliar US dollar atau sekira Rp. 285 triliun. Sehingga bagi masyarakat secara tanggung jawab pelaku usaha dalam hal ini Perusahaan Inpex seharusnya mengedepankan asas-asas keadilan yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat yang berada di pulau Nustual Kabupaten Kepulauan Tanimbar,” ungkap Teng Berlianty dalam tulisannya.
Pembangunan, lanjutnya, merupakan proses natural untuk mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu masyarakat makmur sejahtera, adil, dan merata. Pembangunan ekonomi masyarakat hukum adat di kabupaten kepulauan tanimbar memiliki 2 sisi dampak bagi masyarakat baik yang bersifat membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maupun dampak suram bagi sisi kehidupan masyarakat itu sendiri yakni terutama terkait dengan lingkungan baik secara fisik maupun sosial. “Hak-hak masyarakat hukum adat di Tanimbar yang seharusnya menjadi tolok ukur dalam pengadaan investasi perlu memperhatikan hak-hak tersebut, hak-hak masyarakat hukum adat yang dianggap sangat penting dalam kehidupan mereka adalah,” pungkasnya.
Produk Hak Ulayat Dukung Masuknya Investor
Merespon banyaknya masalah terkait hak Ulayat Masyarakat Adat, Spesialis Dukungan Bisnis SKK Migas, Wilayah Papua Maluku, Dolmince Karsau meminta Pemerintah Daerah (Pemda) baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota di Maluku membuat sebuah produk/aturan terkait hak ulayat, guna mendukung masuknya investasi di Maluku.
Menurutnya ini merupakan langkah tepat atasi persoalan yang terjadi antara masyarakat dengan pelaku usaha. Apa lagi, selama ini dalam investasi, SKK Migas sering kali terbentur dengan masalah sosial terkait hak ulayat, bahkan sering juga dibenturkan langsung dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Kepada MalukuPost.com di Ambon, Sabtu (02/12/2023), Karsau mengatakan, dalam mengatasi persoalan ini, produk lokal hak ulayat harus segera dibuat, sehingga investor yang masuk untuk berinvestasi benar-benar aman.
“Saya kasi contoh pembayaran ganti rugi lahan, sering kali menjadi problem antara pihak ketiga atau investor dengan pemilik tanah. Namun jika ada produk/aturan yang jelas, hal tersebut tidak mungkin terjadi,” katanya.
Ia memastikan, adanya produk hukum yang bisa dilakukan secara aturan membuat kedepannya SKK migas atau KKKS atau investor yang mau menanamkan investasi bisa masuk aman dan lancar.
“Saya berharap, kedepan hal itu menjadi perhatian serius Pemda baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, untuk kemajuan investasi di Maluku,” tandasnya.