Ambon, MalukuPost.com – Di tengah hangatnya debat kandidat gubernur Maluku 2024, nada-nada politik semakin nyaring terdengar. Suasana tak lagi sekadar kampanye biasa, tetapi berubah menjadi momen refleksi sosial yang penuh kritik terhadap para pemimpin terdahulu. Sabtu (26/10/24) malam itu, di sebuah kafe di ujung Jembatan Merah Putih, suasana akrab mengiringi kandidat nomor urut 01, Jafri Apollo Rahawarin (JAR) dan tim pemenangannya, yang tengah berkumpul untuk melepas penat. Namun di antara candaan dan obrolan ringan, nada kritik pedas muncul dari suara Ketua DPD PDI Perjuangan Maluku, Benhur George Watubun, yang malam itu memilih menyanyikan lagu penuh makna, “Hari Kiamat.”
Watubun, seorang figur politik yang lantang menyuarakan ketimpangan, menyinggung soal kesenjangan dan gaya hidup hedonis yang menurutnya mencerminkan sebagian pemimpin terdahulu. Lagu “Hari Kiamat,” yang dipopulerkan oleh Black Brothers sejak 1976, menggambarkan nasib rakyat kecil yang hidup miskin dan menderita, sementara kaum kaya berpesta pora tanpa peduli. Watubun menyebut liriknya sebagai pengingat keras, bukan hanya untuk calon pemimpin baru, tetapi bagi seluruh rakyat Maluku yang tak henti-hentinya berharap pada perubahan nyata.
“Liriknya mengingatkan kita untuk sadar. Kesewenangan, ketidakadilan, dan ketimpangan hidup hanya akan menciptakan jurang yang semakin dalam antara si kaya dan si miskin,” kata Watubun, lantang. Bagi Watubun, lagu ini mencerminkan realitas Maluku yang tak bisa lagi ditutupi: utang daerah yang terus bertambah, lapangan pekerjaan yang terbatas, dan angka kemiskinan yang kian tinggi di berbagai penjuru provinsi. Watubun menegaskan, inilah kenyataan pahit yang ditinggalkan pemimpin terdahulu.
Pernyataan Watubun semakin memanas saat ia menyinggung mantan Gubernur Maluku, Murad Ismail, yang disebut-sebut kerap menunjukkan gaya hidup hedonis di tengah derita rakyatnya. Gaya hidup dan perilaku ini, menurut Watubun, mencerminkan lirik lagu “Bento” karya Iwan Fals, yang mengkritik para penguasa yang hidup mewah sementara rakyat jelata berjuang hanya untuk bertahan hidup. Bagi Watubun, lagu “Bento” menjadi simbol gaya hidup sebagian pemimpin yang mempertontonkan kemewahan dan harta benda, tanpa menyadari bahwa kondisi rakyat Maluku justru jauh dari kata sejahtera.
“Saya tidak mau hanya berbicara basa-basi tentang program,” ujar Watubun. “Tapi yang kita lihat, ketimpangan ini seolah dibiarkan begitu saja. Rakyat miskin tidak akan merasakan manfaat dari pemimpin yang terlalu sibuk memamerkan kekayaannya. Ketika dia bernyanyi ‘Bento,’ di situlah saya merasa dia mempertontonkan hidupnya di tengah kemiskinan rakyat,” ujar Watubun.
Watubun menyayangkan kenyataan bahwa Maluku saat ini harus menanggung beban utang dan masalah sosial lain yang disebabkan oleh kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat. Ia menyatakan bahwa masih banyak rakyat Maluku yang hidup di bawah garis kemiskinan, sementara lapangan pekerjaan tak kunjung terbuka. Watubun pun menuding bahwa pemimpin terdahulu hanya sibuk membangun pencitraan tanpa adanya langkah nyata untuk kesejahteraan rakyat.
“Lagu ‘Hari Kiamat’ ini bukan sekadar nyanyian,” jelas Watubun lagi, “tapi peringatan untuk sadar. Pemimpin yang tidak berpihak pada rakyatnya, yang lebih mementingkan gaya hidup daripada kesejahteraan rakyat, hanya akan memperburuk keadaan.”
Watubun menutup komentarnya dengan seruan tegas agar rakyat Maluku cerdas dalam memilih pemimpin pada pilkada mendatang. Ia menyarankan agar masyarakat tidak tergoda oleh janji manis atau pencitraan semu. “Ini bukan kampanye hitam,” katanya, “tetapi suara rakyat yang lelah. Jangan sampai kita memilih pemimpin yang sama lagi hanya untuk jatuh di lubang yang sama. Jangan biarkan harapan akan kesejahteraan terus menjadi angan-angan belaka,” tegas Watubun di akhir pembicaraannya.
Pernyataan Watubun menjadi angin segar bagi masyarakat yang merasa tertindas, sekaligus sebagai peringatan keras bagi calon pemimpin yang berencana mengikuti jejak pendahulu mereka. Di tengah kepenatan ekonomi dan tekanan sosial yang semakin tinggi, rakyat Maluku kini dihadapkan pada pilihan besar: memilih pemimpin yang benar-benar peduli atau kembali terjebak dalam roda kepemimpinan yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Malam itu, suara Watubun dan lirik lagu “Hari Kiamat” tidak hanya menyisakan resonansi nada, tetapi juga pesan yang tajam dan dalam untuk masa depan Maluku.