Gerakan #SaveAru Raih Penghargaan Internasional Jaga Pulau Kecil

Nepal, MalukuPost.com – Di tengah gelombang eksploitasi pulau-pulau kecil oleh korporasi dan tarik-menarik kepentingan negara atas nama pembangunan, masyarakat adat di Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, Indonesia, justru membuktikan bahwa mereka adalah penjaga terbaik lingkungan. Atas perjuangan kolektif menjaga sumber daya alam, gerakan #SaveAru menerima penghargaan bergengsi dari Right Resources International (RRI) yang diserahkan di Kathmandu, Nepal, Senin (30/6/2025).

Penghargaan tersebut diterima oleh dua tokoh masyarakat adat Aru: Mika Ganobal dan Ocha Gealogoy (Mama Ocha). RRI menilai gerakan #SaveAru sebagai contoh luar biasa dari aksi kolektif masyarakat adat se-Asia dalam menjaga mata pencaharian berkelanjutan, perlindungan alam, dan pelestarian pengetahuan tradisional.

“Hutan-hutan kami bukan sekadar fungsi ekologis, tapi ruang hidup sakral yang diatur adat, relasi spiritual, dan keputusan kolektif. Karena itu penting kami jaga,” ungkap Mika Ganobal.

Ancaman demi ancaman terhadap tanah adat

Kepulauan Aru, gugusan lebih dari 832 pulau dengan luas daratan sekitar 800 ribu hektare, telah lama menjadi sasaran proyek berskala besar. Menurut Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), setidaknya ada empat gelombang besar proyek dan izin yang mengancam Aru:

  • Eksploitasi hutan dan perikanan (1970–2000)
  • Rencana perkebunan tebu 500 ribu hektare oleh PT Menara Group (2007–2013)
  • Rencana peternakan sapi seluas 65 ribu hektare oleh Jhonlin Group (2014–2021)
  • Kini, proyek perdagangan karbon seluas 192 ribu hektare dan reaktivasi izin PBPH-HA PT Wana Sejahtera Abadi (54,5 ribu hektare)

Namun, masyarakat adat tidak tinggal diam. Melalui gerakan akar rumput #SaveAru, mereka berhasil menggagalkan sejumlah rencana dan operasi yang mengancam hutan dan laut adat.

“Masyarakat adat Aru menjaga ekosistem lewat struktur marga, rumpun, nata/fanugwa, dan sistem mata belang. Hubungan manusia dan alam bukan sekadar pemanfaatan, tapi saling jaga,” tambah Mika.

Perempuan adat di garda depan

Sebagai perwakilan perempuan adat, Mama Ocha menegaskan pentingnya peran perempuan dalam menjaga tanah leluhur.

“Sebagai perempuan di Aru, hidup kami bergantung pada hutan dan laut. Kalau alam rusak, kami yang pertama terdampak. Karena itu kami rawat,” tegasnya.

Mama Ocha juga menekankan bahwa masyarakat adat tidak menolak pembangunan, melainkan menuntut pengakuan dan penghormatan.

“Hutan dan laut ini sudah kami jaga jauh sebelum negara ada. Tapi selama kami tak diakui, kami akan selalu rawan disingkirkan,” ujarnya.

Pentingnya pengakuan hukum

Mufti Fathul Barri menggarisbawahi, keberhasilan #SaveAru adalah bukti nyata bahwa tata kelola adat mampu menjaga kelestarian alam secara berkelanjutan. Namun tanpa pengakuan hukum, perjuangan mereka selalu terancam.

“Sudah saatnya negara hadir sebagai pelayan masyarakat adat, bukan penguasa atau pemilik sumber daya alam. Pengesahan RUU Masyarakat Adat jadi langkah konkret melindungi wilayah adat,” kata Mufti.

FWI menilai, pengakuan wilayah adat adalah solusi nyata melindungi hutan tersisa. Negara perlu segera meresmikan RUU Masyarakat Adat sebagai bentuk keadilan bagi masyarakat adat yang telah menjaga alam turun-temurun.

Langkah ke depan

Masyarakat adat Kepulauan Aru sudah membuktikan bahwa kelestarian lingkungan bisa dicapai melalui tata kelola adat. Namun, dukungan negara tetap diperlukan agar upaya mereka memiliki kepastian hukum.

“Kami percaya, pemerintah punya peran penting memperkuat perlindungan wilayah adat melalui kebijakan yang adil. Pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi langkah strategis agar komunitas yang menjaga ruang hidupnya selama ratusan tahun mendapat perlindungan layak,” tutup Mufti.

Dengan penghargaan internasional ini, gerakan #SaveAru menjadi simbol harapan bagi banyak komunitas adat lain di Indonesia dan Asia untuk terus memperjuangkan hak atas tanah, hutan, dan laut yang telah mereka rawat selama berabad-abad.

Pos terkait