Juru Bicara KPK, Febri Diansyah |
Ambon, Malukupost.com – Sedikitnya ada 235 laporan indikasi tindak pidana korupsi (TPK) dari Maluku pernah masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama periode 2015-2018.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah dalam diskusi “Peran Ideal Media di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dalam Perspektif Anti Korupsi” di Ambon, Rabu (25/4), menyebutkan laporan kasus yang masuk ke pihaknya cukup banyak.
“Kasus yang kita pelajari cukup banyak, dari 2015 sampai 2018 ada 235 laporan dari Maluku yang masuk ke KPK,” katanya.
Dari 235 laporan yang masuk, kata Febri, 80 di antaranya setelah dipelajari tidak terindikasi TPK, sedangkan 155 laporannya lainnya ada indikasi TPK tetapi masih harus ditelaah lagi guna penyesuaian kewenangan penyelesaiannya karena KPK hanya memproses kasus yang berkaitan dengan penyelenggara negara.
Kendati tidak merinci seberapa jauh proses telaah yang telah dilakukan terhadap 115 laporan, Febri meyakinkan bahwa apabila indikasi TPK sudah memiliki cukup bukti awal maka segera ditingkatkan ke penyidikan untuk proses lebih lanjut.
“Ada indikasi TPK lebih dekat kepada penyimpangan yang bisa diselesaikan dengan mekanisme koordinasi antarsupervisi yang lain. Ketika ada indikasi TPK perlu dibahas lebih lanjut sampai akhirnya kalau sudah ada bukti permulaan yang cukup, maka kita tingkatkan ke penyedikan untuk diproses lebih lanjut,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan ada 104 kasus korupsi untuk 89 kepala daerah yang sudah diproses oleh KPK, tersebar di 22 provinsi, terbanyak berasal dari Jawa Barat, yakni 13 orang, kemudian Sumatera Utara sebanyak sembilan orang dan delapan orang dari Jawa Timur.
Sedangkan dari wilayah Maluku dan Maluku Utara baru tiga orang yang telah divonis bersalah.
Untuk modus TPK, suap berada pada posisi tertinggi sebanyak 52 kasus, penyalahgunaan anggaran sebanyak 20 kasus, kemudian pengadaan barang dan jasa 11 kasus.
Menurut Febri, jika diperhatikan dengan cermat beberapa waktu belakangan ini, tren indikasi suap di kalangan penyelenggara negara di daerah cukup tinggi, terutama dalam bentuk bayaran timbal balik dalam bentuk proyek.
Ada yang diberikan sesudah kepala daerah menjabat, tetapi ada yang juga yang terkait dengan dukungan proses pencalonan.
“Sebelum proses Pilkada serentak dimulai, dalam fase penetapan calon di Tegal, kami menemukan di salah satu rumah tim sukses sejumlah uang yang dikumpulkan untuk biaya-biaya awal pencalonan,” bebernya. (MP-2)