Awas Serangan Rural Syndrom Dan Urban Complex

rudy%2Bfofid
Opini Rudi Fofid-Ambon

Sebuah akun facebook memaki-maki kampung, dasar kampung,  orang kampung badaki.  Sambil memaki begitu, dia menyebut sebuah pulau penting di Maluku dengan nada sinis.  Untunglah, orang-orang menanggapinya secara dingin.  Belakangan dia minta maaf setelah jadi viral.

Orang yang merendahkan kampung itu, jumlahnya sangat banyak. Kemungkinan besar mereka mengidap rural syndrome dan urban complex secara bersamaan.  Rural syndrome adalah rasa takut dan rasa malu akut pada identitas asli yang berpusat pada kampung halaman.  Urban complex adalah hasrat berlebihan untuk mengemas citra diri sebagai orang kota yang mapan.

Jika pengidap rural syndrome mendengar kata kampung, desa, negeri, ohoi, fanua, dia bisa hilang harga diri lalu pusing dan stress.  Dokter yang periksa dia  akan geleng kepala.  Tidak ada penyakit.  Memang, dia sehat-sehat saja.

Sikap dan perilaku anti kampung dan alergi kampung itu bukan karena virus dan bakteri, melainkan persepsi.  Dia percaya, kampung adalah simbol primitif, kuno, miskin, bodoh,  udik, kampungan, terkebelakang, jelek, kotor, memalukan.  Semua yang buruk melekat di kampung.

Pengidap rural syndrome selalu menghindar, menyangkal, menepis, menolak, membantah, dan berjuang sedemikian rupa supaya tidak dihubung-hubungkan dengan kampung halaman.  Nama dan marga yang melekat sebagai identitas, hanya ada di akta kelahiran, KTP, Ijazah.  Semua itu terpaksa saja.  Kalau sudah sampai di pergaulan, membuat akun facebook, dia akan tampil dengan nama alias supaya tidak bisa dihubung-hubungkan dengan kampung.  Misalnya Reny Mg, Reny Mangostana.  Itu sekadar nama alias dari nama asli Reny Manggustan.

“Lho, dirimu marga Manggustan dari Pulau Babi, bukan?“  Coba tanya dia begitu.

Jawaban paling jujur dan sederhana adalah; “Betul, saya asli Pulau Babi“.  Selesai, habis perkara.   Akan tetapi karena mengidap rural syndrome, maka dia tidak jawab seperti itu. Ada beberapa kemungkinan jawaban melingkar yang dia kemukakan.

“Oh eh, ayah saya memang berasal dari Pulau Babi“

“Iya, itu marga dari Pulau Babi, cuma sejak kakek dan ayah, kami sudah merantau dan belum pernah ke Pulau Babi“

“Manggustan dari Pulau Babi, tetapi kami Manggustan dari OSM“

Pengidap rural syndrome juga akan membuang lagu bicara  (aksen, logat, rim), dan bahasa kampung.   Dari bahasa dan logat orang bisa terka atau pastikan siapa berasal dari kampung mana.  Nah, pengidap rural syndrome akan membebaskan diri dari semua itu.   Dia akan gunakan Bahasa Indonesia, campur Betawi, genit Inggris, dan sedikit nekat Belanda.

So far,  Pulau Babi itu mooi sih.  Cuman kalau ngitung cost, ya high cost juga ternyata. Jadi mending ke Pulau Pombo aja.  By the way,  trip ke Pulau Pombo elo-elo pada enjoy gak?“

Ya begitu cara dia bicara. Bahasa Gado-Gado, kata Kepala Kantor Bahasa Maluku Dr Asrif.  Juga genit Inggris, kata L. Moerbandono sastrawan dan jurnalis dari Radio Netherland Siaran Indonesia (Ranesi).

Untuk menghilangkan jejak kampung dalam dirinya, pengidap rural syndrom akan melakukan apa saja untuk bersih sempurna dari ciri kampung. Selain nama marga yang disamarkan dan bahasa yang dikonversi, sang pengidap juga akan memilih jenis makanan yang bukan makanan kampung.  Sagu, kasbi, ubi, pisang, petatas, sukun, semua yang dari kebun di kampung, dihindarinya.

Demikian halnya busana.  Pakaian ala kampung yang masih banyak di kampung, sungguh dikesampingkan, dan dibuang.  Kalau sampai berbusana khas kampung, dia cemas orang mengenalnya sebagai anak kampung.  O, itu di luar harapan.

URBAN COMPLEX
Sungguh rumit dan mahal, jika pengidap rural syndrome sekaligus juga pengidap urban complex.  Waktu dihabiskan untuk pencitraan.  Pengidap urban complex selalu ingin tampil sempurna, seperti selebriti  internasional.

Pengidap urban complex sangat memperhatikan detail mode, menu, gaya hidup, bahkan apa saja yang datang dari iklan,  infotainment, dan semua produk baru.

Hal paling bahaya adalah pengidap urban complex lupa bahwa beberapa orang yang bepergian ke Bali, Bangkok Paris, Roma, Yunani, adalah orang mapan, kantong tebal, harta tujuh turunan.   Pengidap urban compleks yang juga rural syndrome ingin terlihat laksana orang kota yang mapan.  Bisa dibayangkan, apa yang dia kerjakan untuk terlihat sempurna.

Beberapa orang pengidap urban complex adalah orang yang terlibat utang-piutang, penjualan aset, dan berbagai tindakan nekat untuk menambah uang belanja seperti korupsi, sebab gaya hidup metropolitan adalah mahal.

PERLAWANAN
Sebenarnya rural syndrome dan urban complex bukanlah gejala era milenial.  Sudah lama, hal ini ada dalam masyarakat di seluruh dunia.  Orang ingin mengemas diri agar terlihat seperti orang lain. Semua ini karena persepsi bahwa  semua yang dari luar adalah bagus, dan semua yang pada diri sendiri adalah jelek.

Ketika televisi memasuki kehidupan orang kampung lantas internet kini berada dalam genggaman, rural syndrom dan urban complex makin menjadi-jadi.  Mengubah warna rambut, meluruskan rambut, memakai pemutih kulit, adalah beberapa cara untuk tampil beda, sekaligus memirip-miripkan penampilan fisik dengan sosok imajiner di luar diri seseorang.  Tentu, tidak semua orang yang mengganti mode rambut mengidap sindrome ini.

Di Ambon, sudah banyak perlawanan dilakukan oleh anak-anak muda kreatif melalui jalan seni.  Musik, sastra, seni rupa, teater,  dan cabang-cabang seni banyak melakukan kampanye sayang kampung, bangga kampung.

Apa bahaya rural syndrome dan urban complex? Secara person, sebuah pribadi akan menjadi orang lain, sedangkan secara sosial budaya, akan ada penaklukan-penaklukan oleh satu sistem pasar yang membunuh kebudayaan secara perlahan tetapi pasti.  Alasan sederhana! Pemilik dan pemeluk kebudayaan akan melepas lilitan nilai kebudayaannya, dan merasa lebih hebat dengan kebudayaan lain.

Bagaimana menghadapi serangan rural syndrome dan urban complex?  Gampang! Pergilah ke kampung dan temukan bahwa di sana ada sumber kesucian. Jatuh cintalah padanya.

“Segala-galanya adalah kampung halaman,” kata Mama Do Galagoy, tokoh perempuan dari Tanah Aru. 

Tomohon, 3 Juni 2019

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Online Maluku Post

Pos terkait