Tradisi Lisan Dalam Bencana Dan Pandemi: Suara-Suara Yang Terpinggirkan

Falantino E. Latupapua
Falantino E. Latupapua

Opini Falantino Eryk Latupapua

Siang itu, 11 Maret 2011, Kota Fukushima di pesisir timur Pulau Honshu, Jepang, berdenyut dalam aktivitas normalnya yang sibuk. Kota dengan populasi sekitar 300 ribu jiwa ini adalah salah satu kota penting di Jepang karena merupakan ibu kota prefektur Fukushima, salah satu pusat produksi energi nuklir yang menopang kehidupan di pulau itu. Sekitar pukul 14.40 waktu setempat, tiba-tiba sirine tanda bencana meraung kencang seiring dengan terjadinya gempa dahsyat yang mengguncangkan wilayah Fukushima. Gempa itu, sebagaimana yang diuraikan oleh situs berita tirto.id, kelak dicatat pada skala 9 skala richter sebagai salah satu gempa terdahsyat sepanjang sejarah dunia dengan korban jiwa kira-kira 200 ribu orang meninggal atau hilang dan 500 ribu lainnya dievakuasi. Tsunami dan gempa mempengaruhi stasiun pembangkit listrik tenaga nuklir dan menyebabkan keadaan waspada nuklir. Kerugian yang diciptakan dari bencana ini adalah 360 miliar dolar AS.

Kedahsyatan gempa bumi dan tsunami di Fukushima adalah satu dari banyak cerita tentang negara Jepang yang tak henti-hentinya didera gempa dan tsunami akibat letak geografisnya yang berada pada pusat pertemuan lempeng tektonik dunia. Pada sisi yang lain, kisah itu dan yang lainnya selalu menyisakan cerita tentang kekaguman atas kemampuan Jepang untuk mengurangi risiko gempa dengan menggunakan teknologi yang maju pada sisi yang satu dan adab dan disiplin bangsanya melalui pendidikan sebagai pada sisi dominan yang lain. Bangsa Jepang sangat peduli dengan keselamatan diri mereka dari bencana alam dengan cara menjadi bangsa paling waspada bencana di dunia. Sistem pendidikan sekolah dasar telah khatam dengan persoalan mitigasi gempa. Simulasi bencana dan upaya penyelamatan dilakukan secara rutin. Kemudian, berkaitan dengan bagaimana menghadapi bencana dan memulihkan diri secara cepat dan tepat, orang Jepang memiliki “mantra” budaya ganbarou.

Secara leksikal, ganbarou berarti berjuang sekuat tenaga; berusaha untuk melakukan yang terbaik. Ganbarou adalah semacam penanda muruah budaya orang Jepang dalam menghadapi tekanan dan tantangan dengan kerja tangguh dan sungguh-sungguh untuk bangkit dan kembali dengan semangat berlipat ganda. Ganbarou bukanlah sekadar pengetahuan kolektif yang hampa makna melainkan selalu terejawantahkan pada budaya kerja, budaya malu, dan budaya mencintai bangsa sendiri. Mengenai hal ini, dunia bisa melihat buktinya dengan jelas pada semangat kerja dan disiplin bangsa itu.

Bagaimana Indonesia berkaca dan membandingkan kesiapan menghadapi bencana? Saya masih ingat peristiwa gempa Maluku, 26 September 2019. Kala itu, yang tersaji adalah hingar-bingar yang menyiratkan kebingungan dan ketidakwaspadaan, edukasi tentang mitigasi yang belum berjalan dengan baik, lemah, dan belum menyeluruh. Hal ini diperparah dengan menjalarnya arus informasi palsu dan berita bohong di media sosial yang menjadi sangat tidak terkendali. Pada saat gempa terjadi, kita tidak bisa secara jernih melihat perbedaan antara upaya penyelamatan diri yang terkontrol karena edukasi yang dilakukan secara tersistem dengan kepanikan yang menjalar dalam situasi penuh dengan gagap dan kebingungan. Anak-anak sekolah berlarian sama paniknya dengan orang dewasa. Sejauh pengamatan, tidak pernah ada latihan mitigasi bencana, tidak pernah ada edukasi intrakurikuler tentang kebencanaan pada materi ajar di sekolah-sekolah, serta tidak banyak upaya sistematis untuk membentuk ketahanan masyarakat terhadap bencana serta akibat-akibatnya. Gempa berskala kurang lebih 6 skala richter yang memakan korban puluhan orang meninggal itu kemudian diwarnai dengan berbagai situasi pascabencana yakni: penanganan pengungsi yang belum baik serta situasi masyarakat yang rapuh dan mudah digoyahkan oleh berbagai informasi yang tidak benar. Situasi demikian tidak jauh berbeda ketika kita membaca berita-berita tentang bencana lainnya di Aceh, Padang, Mentawai, dan lain-lain, pada masa lalu.

Kecenderungan yang sama dapat kita temukan dalam situasi pandemi Covid-19 yang pertama kali terdeteksi di Indonesia sejak akhir triwulan pertama tahun 2020. Nyaris tidak berbeda dengan penanganan bencana alam, penanganan pandemi dipenuhi dengan serangkaian kebingungan, kegagapan, serta ketidaktaatan dalam menjalankan protokol kesehatan, termasuk deraan berita hoaks yang membingungkan. Lebih dari itu, ketidakpercayaan terhadap fenomena Covid-19 sebagai sebuah pandemi global serta keyakinan tentang adanya teori konspirasi di balik wabah virus tersebut juga menjadi penanda adanya kerapuhan serta kegamangan budaya dalam kaitan dengan sikap manusia menghadapi wabah.

Berdasarkan fakta-fakta itu, kita boleh menyepakati bahwa sesungguhnya teknologi yang diciptakan untuk membantu manusia menghadapi bencana dan pandemi, khususnya untuk meminimalisasi akibatnya terhadap kehidupan manusia, memiliki kesanggupan untuk mendeteksi potensi bencana dan meminimalisasi dampaknya. Akan tetapi, berkaca pada pengalaman faktual banyak peristiwa bencana alam dan pandemi di Indonesia, teknologi yang bisa memprediksi gempa, misalnya, belum cukup mampu untuk mengurangi dampak fisik dan mental bencana dan pandemi. Hal-hal tentang reaksi dan respon terhadap bencana dan pandemi bergantung pada sejauh mana masyarakat diajari dan dididik untuk menghadapi dan mengatasi dampak bencana pada segala dimensi kehidupan. Mengingat pada umumnya masyarakat Indonesia sangat kental dengan kolektivitas yang hidup dalam tradisi pengetahuan yang pada mulanya lebih banyak bersifat lisan, kita bisa mempertanyakan tentang peran pengetahuan kolektif yang hidup dalam tradisi lisan, juga dalam sastra lisan masyarakat Indonesia yang beragam-ragam itu, untuk membentuk habituasi sadar bencana dan edukasi tentang mitigasi bencana secara mandiri.

Berdasarkan hakikatnya, karya sastra menjadi salah satu produk kebudayaan penting yang menandai segala bentuk relasi antarmanusia maupun relasi dengan lingkungan dan semesta. Relasi-relasi itu diceritakan dalam karya sastra dalam berbagai bahasa dan dengan perspektif yang beragam-ragam. Sastra sebagai produk berbahasa telah menjadi media yang dengan mudah digunakan untuk bercerita sekaligus memperoleh narasi tentang segala peristiwa yang dialami oleh umat manusia sepanjang sejarah peradaban mereka dalam bentuk yang paling nyata sebagai fakta kemanusiaan sekaligus sebagai bentuk imaji sebagai hasil dari proses mimesis atau refleksi.

Dalam kaitan dengan hakikat teks sastra sebagai suatu wahana reflektif yang menarasikan diri sendiri, relasi antara manusia dengan entitas supranatural, relasi dengan lingkungan, relasi dengan sesama manusia adalah jejaring narasi lainnya yang selalu muncul dalam teks sastra, baik secara tunggal, bersamaan, maupun secara bergantian. Salah satu persoalan yang cukup sering muncul dalam karya sastra adalah narasi relasi manusia dengan lingkungan. Relasi tersebut telah ditemukan jauh sebelum teks sastra berbentuk tulisan dan naskah menjadi wahana umum dalam jejaring produksi dan konsumsi karya sastra modern. Dalam lingkaran peradaban manusia, lingkungan telah memengaruhi dan menentukan kehidupan manusia. Tanah, udara, iklim, tumbuh-tumbuhan, dan organisme selain manusia menjadi determinan yang tidak dapat diabaikan dalam menentukan kebudayaan dan peradaban manusia, termasuk bencana alam sebagai konsekuensi dari relasi manusia dengan lingkungan.

Beberapa karya sastra yang cukup terkenal telah menarasikan relasi manusia dalam konteks kebencanaan. Dalam Ask The Dust (1939), John Fante menulis: This is the wrath of God. You did it…. Repent, repent before it’s too late. I said a prayer but it was dust in my mouth. No prayers. But there would be some changes made in my life. There would be decency and gentleness from now on. This was the turning point. Dalam perspektifnya, John Fante menuangkan pikirannya melalui tokoh-tokoh dalam novel yang memandang gempa sebagai wujud ‘amarah Tuhan’ yang mengharuskan manusia untuk bertobat dan berbalik dari kesalahan mereka. Selain itu, dalam novel The Earthquake in Chile, Heinrich von Kleist menulis: “When he turned and saw the city leveled to the ground behind him,” he writes, “did he remember the terrifying moments he had just experienced. He bowed his forehead to the very ground as he thanked God for his miraculous escape; and as if this one appalling memory, stamping itself on his mind, had erased all others, he wept with rapture to find that the blessing of life, in all its wealth and variety, was still his to enjoy.” Von Kleist memandang bencana alam dengan penuh rasa syukur dan optimistik. Baginya yang terpenting adalah tetap hidup dan bernafas adalah anugerah yang sesungguhnya.

Jauh sebelum era naskah, cerita-cerita lisan dalam berbagai genre di berbagai belahan dunia sudah bercerita tentang manusia di tengah-tengah bencana. Stephen Oppenheimer menulis buku Eden In The East (2010) yang memaparkan hasil penelitiannya tentang kaitan antara bencana alam banjir, naiknya air laut, gempa, dan letusan gunung berapi. Ia menghasilkan tesis bahwa sesungguhnya puncak peradaban dunia adalah suatu dataran bernama Sundaland di wilayah Indonesia (Asia Tenggara) yang pada suatu waktu mengalami bencana yang amat masif sehingga menyebabkan dataran tersebut tenggelam. Oppenheimer memaparkan tesisnya bahwa suku-suku bangsa yang mendiami wilayah-wilayah penting di Asia seperti Cina dan Jepang ternyata berasal dari daerah yang pernah terendam air. Ia mengajukan bukti-bukti untuk mendukung tesis temuannya dengan berbagai hasil telaah teks lisan dan tulisan dari banyak wilayah di dunia yang menarasikan kisah paralel atau memiliki kemiripan tentang adanya banjir atau gelombang yang terjadi secara beruntun dan merendam permukaan tanah pada suatu waktu. Karya Oppenheimer tersebut menyajikan jejak-jejak yang terurai bahwa kesadaran tentang bencana dan mitigasinya, secara mendasar, telah menyatu dengan manusia selama berabad-abad tanpa perlu menggunakan istilah yang beragam-ragam.

Lebih lanjut, dalam dunia yang makin kompleks dan dinamis seperti sekarang, sastra dalam tulisan dan kelisanan hampir-hampir menjadi entitas minor yang lebih banyak bersuara dengan volume lirih nyaris senyap. Semua pengetahuan sebagai cermin peradaban suatu bangsa secara perlahan-lahan mulai menghilang dan dilupakan seiring matinya bahasa-bahasa daerah sebagai penghela pengetahuan lokal. Dalam kenyataan itu, para akademisi cenderung menyalahkan upaya pemerintah untuk mendorong pelestarian budaya, atau menuding sekolah sebagai penyebab utama pengabaian terhadap kekayaan kultural karena terpapar oleh kolonisasi pengetahuan xenomanis. Pada sisi yang lain, ajaran-ajaran tentang memaknai bencana dan menyiasati kehancuran akibat bencana maupun pandemi sudah sejak lama menjadi pengetahuan kolektif yang hidup dalam kelisanan. Ambil misal, kayori, sastra lisan Suku Kaili di Sulawesi Tengah yang berisi syair-syair kuno tentang masa lalu, termasuk di dalamnya peringatan soal bencana alam, salah satu baitnya menuturkan narasi, sebagai berikut: “Kalau ada salah kita di dunia pasti gempa lagi, gempa ini dari perilaku kita di dunia, bila kita tidak sesuai dengan adat, kita akan ada lagi gempa.” Dalam teks-teks semacam ini, kita boleh meyakini bahwa ada semacam paralelisme tematik tentang bencana dalam sastra lisan pada berbagai bangsa di dunia yang saling bertaut dengan penuturan-penuturan sastra tulis modern, meski tidak saling bersinggungan dalam relasi intertekstual.

Bagaimana dengan Maluku? Secara kolektif, sesungguhnya orang Maluku sudah sejak lama menikmati narasi tentang mitigasi bencana, meskipun belum dinamai dengan istilah yang spesifik. Dalam berbagai cerita lisan di Maluku, telah dijumpai adanya penuturan tentang bencana alam dan bencana kemanusiaan yang menyebabkan kehancuran kolektif. Oleh sebab itu, harus dihindari melalui serangkaian tindakan dalam jalinan aksi dan respon. Dalam kisah “Air Mata Cilu Bintang” dari Pulau Banda, kita bisa membaca atau menyimak tentang kesanggupan manusia bertahan dalam bencana melalui migrasi, penggunaan teknologi, dan mitigasi. Dalam cerita Hainuwele, kita bisa bercermin tentang bencana kemanusiaan yang bisa dihindari dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang terpuji. Dalam cerita Atuf Sang Penakluk Matahari, kita berhadapan dengan refleksi tentang kekuasaan alam yang sesungguhnya tidak lebih hebat dari kesanggupan manusia untuk bertahan. Dalam cerita “Batu Badaong” yang populer itu, anak-anak kita telah lama dijejali dengan ajaran tentang kuasa alam yang mampu membahayakan hidup manusia sehingga harus dihindari dengan perilaku yang bijak bestari.

Dalam ranah tradisi, manusia Maluku telah akrab dengan konsep karantina, sebagaimana ada dalam tradisi Pinamou di Maluku Tengah. Di sisi lain, ungkapan budaya lawamena haulala, potong di kuku rasa di daging, masohi, mengandung kekuatan perekat yang kaya dan (seharusnya) bisa dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh dalam berbagai dimensi mitigasi bencana dan wabah. Demikian pula dengan konsep ketahanan ekonomi papalele, atau nilai kalesang, jang talamburang, dsb, yang bersinggungan langsung dengan dimensi kesehatan dalam mitigasi bencana dan pandemi. Dengan demikian, sebagaimana orang Jepang bisa bertahan dan bangkit dengan nilai-nilai budaya yang kuat semacam ganbarou, manusia Maluku sesungguhnya telah memiliki itu semua; diajarkan secara turun-temurun. Hanya saja, sekali lagi, dalam praktiknya telah terjadi fragmentasi kesadaran budaya: lupa pada kekuatan sendiri. Tradisi, semboyan, dan pengaya nilai sering tersisih di tengah narasi-narasi besar, sebagai suara-suara sunyi yang makin senyap dan perlahan hilang. Akibatnya? Kita semakin bingung dan bergantung kepada teknologi untuk menyelamatkan diri dari kuasa alam. Sementara, kita tahu, kuasa teknologi tidak tanpa batas. Pada akhirnya, manusialah yang menjadi determinan penting untuk memaknai dan mempraktikkan relasi dirinya dengan alam semesta. Dimensi budaya telah ada di sana, sejak kesadaran manusia telah membuka, hanya saja kita sering lupa mempraktikkannya dan menaruhnya di ceruk sepi di tepi-tepi wacana. Mena!

Penulis adalah dosen Universitas Pattimura Ambon

Pos terkait