Laporan Rudi Fofid-Ambon
Malukupost.com – Sejarah berlanjut dari PON ke PON. Pada PON II tahun 1951 di Jakarta, pelari jarak menengah J. Bernardus membuat sejarah dengan medali perak. Itulah rekor abadi baginya. Lantas dua tahun kemudian, sejarah baru diukir lagi pada PON III di Medan tahun 1953. Pelakunya seorang srikandi remaja asal Negeri Titaway, Nusalaut.
Saat itu, di tengah situasi dramatis kesulitan transportasi maupun penyelenggaraan yang serba minim, sang srikandi Willy Tomasoa baru berusia 15 tahun. Ia turun di nomor paling bergengsi lari 100 meter puteri. Berlari tanpa alas kaki, gadis mungil itu mampu menghentak, meninggalkan lawan-lawannya dan masuk finis di urutan pertama. Emas pun digenggamnya sebagai sebuah sejarah nan manis. Arsip Nasional Republik Indonesia tidak mencatat rekor waktu yang diciptakan Willy, maupun peraih medali perak dan perunggu.
Nona manis Willy Tomasoa masih terus bersinar dalam ajang Ganefo Games dan Asian Games. Ia meraih medali perak di nomor 100 meter Ganefo Games, dan bersama tim sprinter Indonesia berjaya di nomor 4 x 100 meter.
Pada usia senja, ia dikenal sebagai Ny. Willy Tuapattinaya, istri jurnalis Abraham Tuapattinaya. Bersama suaminya, Willy mengelola majalah wanita ternama di Indonesia “Majalah Kartini”.
Kontingen Maluku pada PON III pulang dari Medan membawa delapan medali yakni satu emas, lima perak, dan dua perunggu. Prestasi ini selanjutnya menjadi inspirasi dan motivasi bagi kontigen Maluku pada setiap penyelenggaraan PON.
Tercatat, Maluku selalu datang ke PON dan pulang bawa medali. Hanya PON II dan PON IV, Maluku tidak meraih emas. Maluku absen pada PON I lantas PON VI tidak jadi dilaksanakan karena peristiwa 1965. Sedangkan 15 penyelenggaraan lainnya, selalu ada medali emas. (Malukupost/Arsip Nasional RI)