Laporan Rudi Fofid-Ambon
Malukupost.com – Bertahun-tahun Nicho ‘Ukulele’ Tulalessy malang-melintang di dunia aktivis. Ia merambah aksi sosial karitatif, advokasi lingkungan, hukum dan HAM, perdamaian, sampai ke dunia pendidikan dan kebudayaan. Belakangan, ia lengket dan begitu identik dengan alat musik ukulele.
Bagaimana Nicho bisa berbagi waktu untuk beragam aktivitas? Bagaimana harus mengurus rumahnya di Amahusu, bersama istri Marrie de Fretes, kedua puteri Kezia dan Nadine, serta si putera bungsu Lincoln? Berikut ini, aktivitas Nicho sepanjang Sabtu (20/11). Beginilah ia menghabiskan akhir pekan.
Pagi, pukul 08.00, usai sarapan pagi, Nicho sudah harus tinggalkan rumah di Amahusu menuju lereng Gunung Nona. Di sana, para remaja aktivis lingkungan LebeBae Community menggelar aksi tanam pohon. Puterinya Kezia yang memimpin komunitas ini, “mewajibkan” sang ayah ikut turun lapangan tanam pohon.
Dari Gunung Nona, Nicho kembali ke rumah. Setelah berganti baju lapangan, dia pun meluncur dengan mobil Kijang Grand Extra keluaran 1996, dari Amahusu ke SMP Negeri 1 di Karangpanjang. Di sana ada pameran hasil karya pembelajaran kontekstual berbasis budaya dan seni. Rekannya Megio Lekahena menjadi fasilitator kegiatan presisi inovasi pembelajaran kontekstual di SMP 1.
Setelah mengikuti upacara pembukaan, melihat pameran kuliner, kerajinan tangan, mau pun mendengar puisi dan tarian, Nicho kembali ke rumah di Amahusu. Dia harus menjemput ketiga anak untuk urusan masing-masing. Sepanjang jalan dari Karangpanjang ke Amahusu, ia menyetir mobil sambil menelepon istri, anak, dan sejumlah rekan kerja untuk beragam informasi, komunikasi, dan koordinasi.
Jam 12.00 siang, dari Amahusu, Nicho mengantar Kezia ke Kudamati untuk belajar kelompok, Lincoln ke lembaga kursus di Graha Aljabar”. Dia sendiri bersama Nadine ke SMK Negeri 7 di Tanah Lapang Kecil.
Bagi Nicho, SMK Negeri 7 adalah sekolah penuh kenangan. Dulu, sekolah ini bernama Sekolah Teknik Mesin (STM) Negeri 2. Nicho pernah menjadi siswa di sana. Kini Nadine juga belajar di sekolah yang sama. Maka ketika bertemu seorang guru senior, muncullah gurauan yang unik.
“Papa Nicho panggil Bapa Guru, jadi Nadine musti panggil Opa Guru,” kata sang guru sambil tertawa.
Ternyata, Nicho tidak sekadar mengantar Nadine ke sekolah. Dia juga menjadi fasilitator untuk program
presisi inovasi pembelajaran kontekstual. Sudah tiga bulan ia secara rutin mendampingi siswa untuk menghasilkan karya kreatif. Pekan mendatang, mereka akan melakukan pameran, sebagaimana yang sudah dilakukan di SMP Negeri 1 dan beberapa sekolah lain sebagai sekolah percontohan.
Jam 15.00, Nicho sudah kembali menjemput Lincoln di Graha Aljabar. Keduanya langsung meluncur ke SD Negeri 65 di Jalan Pattimura. Ada sekelompok pelajar SD kelas 1, 2, dan 3 sudah menunggu. Nicho pun mendampingi sekitar 15 siswa itu. Ini pekerjaan paling rumit, sebab mengajari anak bermain ukulele dari nol. Meskipun sulit, Nicho sudah biasa menghadapi anak SD kelas 1 bahkan PAUD.
“Menjadi pendamping anak itu harus sabar, tidak boleh marah, tidak boleh mata menyala, tidak boleh mamah gigi, tidak boleh ada kata-kata yang menindas,” kata Nicho.
Jam 16.30, Nicho dan Lincoln meninggalkan SD Negeri 65. Nicho baru sadar, dia belum sempat makan siang, padahal, di rumah, menu makan siang sudah menunggu. Dia pun memilih beristirahat sejenak di Walang Sibu-Sibu, dekat Tugu Trikora. Sambil minum kopi dan makan nasi goreng, tanpa sengaja, Direktur Ambon Music Office Ronny Loppies pun ada di sana. Maka sore di Sibu-Sibu, penuh dengan diskusi bergizi tentang musik dan Ambon Kota Musik.
Jam 17.30, Nicho dan Lincoln meninggalkan Sibu-Sibu menuju Rumah Amahusu. Dalam perjalanan pulang, Nicho menyempatkan diri membayar listrik di ATM, dan belanja beberapa kebutuhan rumah di supermarket.
Begitu tiba di rumah, di sana, 20 remaja anggota Amboina Ukulele Kids Community (AUKC) sudah menunggu. Mereka pun berlatih lagu Ambon tempo dulu, dan lagu baru karya Nicho.
Jam 20.00, latihan AUKC berakhir. “Sampai jumpa besok pada jam yang sama,” kata Nicho. Dia pun bergegas mandi dan makan malam.
Jam 20.30, Nicho menuju sebuah kafe dan restoran di Poka. Di sana, seorang pejabat tinggi pemerintah dan beberapa rekan sudah menunggu. Mereka hendak berdiskusi tentang beberapa masalah aktual, dan bagaimana jalan keluar untuk masalah-masalah krusial. Akhir pekan dan malam minggu yang serius tetapi santai.
Begitulah Nicho sepanjang hari, akhir pekan ini. Nicho merasa beruntung, sang istri dan ketiga anak sangat memahami kerja-kerjanya dengan seluruh romantika dan dinamika. Sang istri Marrie de Fretes yang bekerja di LSM internasional, bisa mengimbangi Nicho. Keduanya sering bertukar peran.
Jangan heran lain waktu Nicho ada di kampung-kampung dan pulau-pulau di Maluku, pergi ke Jakarta atau luar negeri, sang istri seorang diri mengurus anak-anak di rumah. Lain waktu, Nicho sendirilah yang belanja di pasar, dan masuk dapur memasak untuk seisi rumah.
Begitulah Nicho Tulalessy dalam sehari. Bagaimana Nicho dalam seminggu, sebulan, setahun. Lebih rumit lagi. Dia harus hadiri konferensi, tampil di radio dan TV, zoom meeting, berlayar, angkat sampah, menyelam, mengajar musik, menulis lagu, bernyanyi di gereja, menanam bumbu-bumbu dapur, merawat anggrek, survai politik, survei ekonomi, dan seabrek aktivitas yang tidak habis-habis.
Di dalam beragam aktivitas itu, Nicho mengaku sangat menghormati waktu sebagai berkah Tuhan.
“Waktu yang berlalu tidak akan kembali. Jadi kalau ada waktu untuk berbuat baik bagi diri dan orang lain, ya gunakan. Jangan tunda. Jangan biarkan waktu dua-tiga jam terbuang percuma dengan tidak bikin apa-apa untuk diri sendiri dan orang lain,” papar Nicho. (Malukupost)