Mey Cresentya Rahail, Perempuan Kei untuk Masa Depan Maluku Tenggara

Mey Cresentya Rahail, S.T. (Foto: Istimewa)

Bogor, MalukuPost.com – Mey Cresentya Rahail, perempuan Kei asal Maluku Tenggara, menorehkan kiprah besar di dunia komunikasi, public speaking, dan pemberdayaan. Meski kini berkarier di Bogor, cintanya untuk tanah Kei tak pernah pudar.

Di Bogor, namanya harum sebagai akademisi dan konsultan komunikasi. Namun di balik semua kiprah itu, ada rahasia yang tak pernah lepas dari dirinya: hati Mey Cresentya Rahail selalu berpulang ke Kei, tanah leluhur yang diyakininya sebagai laboratorium masa depan Indonesia Timur.

Di balik sederet prestasi di dunia komunikasi, public speaking, dan pemberdayaan perempuan, ada satu hal yang tidak pernah hilang dari sosok Mey Cresentya Rahail yakni kerinduan dan cintanya kepada tanah leluhur, Kei.

Putri pasangan Eghie Rahail (Alm) dan Bethie Lokollo ini tumbuh dengan keyakinan bahwa suara perempuan adalah cahaya yang bisa mengubah arah zaman.

Keyakinan itu ia buktikan sejak muda, saat memimpin Forum Jurnalis Perempuan (FJP) Maluku sebagai ketua pertama, menjadi Wakil Ketua DPD KNPI Maluku bidang Pemberdayaan Perempuan, hingga mengabdi sebagai dosen Fakultas Dakwah dan Ushuluddin IAIN Ambon.

Kini, Mey melangkah lebih jauh di rantau. Ia tercatat sebagai Dosen Ilmu Komunikasi FISIB Universitas Pakuan Bogor.

Ia dipercaya di berbagai bidang strategis sebagai Tenaga Ahli Jurnalistik Kementerian PUPR, Tim Branding Pemkab Bogor, Tenaga Ahli Broadcast Diskominfo Kabupaten Bogor, Wakil Ketua Perhumas Bogor, hingga Ketua Ikatan Alumni Geologi Institut Teknologi Nasional Yogyakarta (IKAGEO ITNY) Jabodetabek.

Namun, di balik pencapaian itu, ada satu pengakuan yang selalu ia ulang.

“Sejauh apa pun melangkah, hati saya tetap berpulang ke Maluku Tenggara,” katanya.

Bagi Mey, rantau hanyalah ruang belajar. Setiap jejaring, ilmu, dan pengalaman adalah bekal untuk kembali membangun Kei.

Ia menyebut Maluku Tenggara sebagai “laboratorium masa depan Indonesia Timur” dengan lima pilar utama:

Laut sebagai poros ekonomi biru:
Potensi perikanan, rumput laut, wisata bahari, hingga energi terbarukan dari laut bisa menjadikan Kei pusat ekonomi maritim Indonesia Timur.

Budaya sebagai benteng identitas:
Hukum adat Larvul Ngabal bukan sekadar aturan, tetapi fondasi moral yang menjaga harmoni masyarakat Kei dalam arus modernisasi.

Generasi muda sebagai motor transformasi:
Intelektualitas dan keberanian anak-anak Kei adalah energi perubahan, asalkan diberi ruang berkarya dan kesempatan memimpin.

Alam sebagai anugerah ekologis:
Keindahan pantai dan pulau Kei bukan hanya pesona dunia, melainkan aset ekowisata berkelanjutan yang bisa menjaga keseimbangan manusia dan alam.

Diaspora Kei sebagai jejaring kekuatan:
Anak-anak Kei di rantau adalah jembatan modal, pengetahuan, dan pengalaman yang dapat mempercepat pembangunan kampung halaman.

Menurutnya, Kei bukan sekadar kampung halaman. Ia adalah rumah besar yang harus diberdayakan, negeri di ufuk timur yang bisa menjadi terang bagi Indonesia.

“Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk memimpin perubahan. Dengan lautnya yang luas, budayanya yang kokoh, dan generasi mudanya yang tangguh, Maluku Tenggara bisa mandiri, berdaya, dan bersinar,” tegasnya.

Meski langkahnya kini berada di rantau, setiap karya Mey adalah persembahan. Setiap pengabdian adalah jalan pulang menuju Kei, tempat di mana hati dan cita-citanya selalu berpulang.

“Kei adalah jalan pulang, jalan perubahan,” pungkasnya.

Pos terkait