Laporan Rudi Fofid-Tual
Malukupost.com – Bing Leiwakabessy bukanlah nabi. Ia hanya manusia biasa, yang tekun di jalan lurus dan panjang musik tradisi. Akan tetapi, dalam karya lagunya, ia sempat menulis lirik yang secara tersembunyi terdapat semacam nubuat tentang masa depan Maluku.
Ceritanya, tahun 1980, Bing membuat komposisi musik untuk serangkaian lagu, sebagian besar adalah karyanya sendiri. Bing memberi judul album itu “Theresya”, kendati di dalamnya tidak ada lagu berjudul Theresya. Sangat mungkin Bing mengabadikan nama anggota keluarganya, sebagaimana nama cucunya Theresya Leiwakabessy.
Dalam album Theresya terdapat lagu-lagu Nusaniwe Tanjung Alang, Hasil Maluku, Angin Barat, Banjir Ambon, Blue Amboina Bay, Maafkan Daku, Tidurlah Anakku, Bakti Ibu, juga Hio, Hio!
Seluruh lagu dalam album ini menjadi sangat popular, sering didendangkan kembali banyak penyanyi pada beragam kesempatan, termasuk merekamnya kembali. Salah satu lagu yang juga punya peminat tinggi adalah “Hasil Maluku”.
Banyak orang menyebut lagu ini sebagai lagu “Pohon Sagu”, padahal judulnya “Hasil Maluku”. Hal ini disebabkan diksi awal lagu ini adalah “pohon sagu”.
Tidak sedikit penyanyi melagukan “Hasil Maluku” dengan membuat variasi sehingga menyimpang dari lirik asli. Pada bagian “Itu daerah, Maluku”, banyak penyanyi membuat repetisi “Itu daerah, daerah Maluku”. Bing menyebutkan lirik yang benar adalah hanya ada satu kali kata “daerah”.
Lagu ini sebenarnya bercerita tentang kekayaan Maluku. Bing tidak merinci hasil-hasil itu. Ia hanya menyebut “pohon sagu”, dan “lautan yang penuh dengan kekayaan”. Selebihnya, Bing merambah ke mana-mana. Simak saja lirik lengkapnya:
pohon sagu itu suatu hasil
di sebelah timur
di maluku, di maluku
pulau-pulau selatan, lease
seram dan buru
itu daerah, maluku
dikelilingi oleh lautan
yang penuh dengan kekayaan
biru laut bukan satu ketakutan
tidak dianggap nelayan
sio maluku, maluku kucinta
serta kusayang
padamu selama hidupku
Tidak banyak orang menyimak sebuah nubuat yang terselip di dalam lirik “Hasil Maluku”. Lagu ini dikerjakan tahun 1980. Kala itu, Provinsi Maluku meliputi wilayah dari Morotai sampai Wetar. Akan tetapi tahun itu pula, Bing menulis secara menyimpang dari kenyataan administratif:
“Pulau-Pulau Selatan, Lease, Seram, dan Buru. Itu daerah, Maluku”.
Secara normal, seharusnya Bing menulis: “Pulau-pulau selatan, utara, Lease, Seram, dan Buru, itu daerah, Maluku”. Dengan begitu, Maluku Utara dapat diakomodir karena faktanya Maluku adalah dari Morotai sampai Wetar, utara sampai selatan.
Ternyata, tanpa disadari, Bing tidak menyentil Maluku Utara. Ia hanya fokus pada Maluku Tenggara (pulau-pulau selatan), Lease, Seram, dan Buru. Pulau-pulau inilah yang disebutnya dalam lirik berikut: “Itu daerah, Maluku”.
Tidak ada protes siapapun terhadap lirik yang tidak komplit ini. Lagu itu terus saja didendangkan dari panggung ke panggung. Barulah tahun 1999, Provinsi Maluku Utara memekarkan diri menjadi provinsi baru. Wilayah Maluku dari Morotai sampai Wetar kemudian terbagi dua. Wilayah Provinsi Maluku kemudian meliputi wilayah sebagaimana ditulis Bing tahun 1980, atau 19 tahun sebelum pemekaran Provinsi Maluku Utara. Bisa begitu?
“Beta juga seng tahu. Beta baru sadar ini dari ale. Mengapa beta bisa tulis begitu, ya?” Bing balik bertanya saat dikonfirmasi, mengapa tidak mengakomodir Maluku Utara dalam lirik itu.
Sejumlah nubuat yang dibuat oleh beberapa figur, kelak tergenapi dan baru disadari justru ketika seseorang telah tiada. Yos Sudarso, pahlawan Laut Arafuru juga pernah membuat puisi yang mengandung nubuat tentang dirinya sendiri.
Pada puisi yang ditulisnya di Surabaya tahun 1959 berjudul Pattimura, Yos Sudarso bagai memprediksi masa depannya.
Yos Sudarso
PATTIMURA
Jika kau tanya apa jasaku
akan aku jawab tidak ada
Jika kau tanya apa baktiku
akan aku jawab tidak ada
Aku hanya melaksanakan kewajiban
tidak lebih tidak kurang
Bahkan bendera Viktory yang kukibarkan
bukan pula bendera pahlawan
tetapi hanya bendera kewajiban
yang akan tetap kunaikkan
Terima kasih Pattimura, terima kasih para djanto
Pattimura, kita akan bertemu lagi di laut biru
di bawah bendera kewajiban
Surabaya, 1959
Perhatikan dua larik terakhir, Yos menulis: “Pattimura, kita akan bertemu lagi di laut biru, di bawah bendera kewajiban”.
Ternyata, Yos Sudarso kemudian gugur di Laut Arafura, 15 Januari 1962 atau tiga tahun setelah menulis puisi Pattimura. “Pattimura, kita akan bertemu lagi di laut biru di bawah bendera kewajiban”. Sungguh, “nubuat” Yos Sudarso tergenapi. Ia bertemu Pattimura di Maluku.
Nubuat tentang kematian juga dilakukan Chairil Anwar dalam puisi “Yang Terampas dan Yang Putus”.
Chairil Anwar
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa
berlaku beku
1949
Judul puisi Chairil Anwar ini sudah membangun asosiasi tentang kematian. Lantas pada larik keempat, Chairil menulis:
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Betapa usilnya Chairil untuk menambah di dalam kurung (daerahku y.a.d = daerahku yang akan datang). Ternyata, si binatang jalang ini wafat 28 April 1949, dan dimakamkan di TPU Karet Bivak. Persis dengan nubuatannya.
Bing Leiwakabessy, Yos Sudarso, dan Chairil Anwar tidak sendiri. Banyak penyair melakukan hal yang sama. Melalui karya seni, mereka bernubuat, sadar maupun tidak. Nubuat-nubuat seniman tentu lahir dari ketajaman jiwa. (Malukupost)