Menurut Walalayo, yang lebih penting adalah komitmen tulus dan hasil maksimal dari pengabdian total meraih prestasi yang dibuktikan seseorang, tak peduli dari mana latar belakangnya.
“Menyangkut guru besar saya rasa jangan pakai titel kesarjanaan lah. Karena olahraga Maluku tidak membutuhkan gelar guru besar, tetapi komitmen besar dan prestasi besar.”tegasnya.
Dijelaskan Walalayo, kualitas dan komitmen besar untuk membangun olahraga jauh lebih penting dari kapasitas profesor. Berstatus Guru Besar juga kalau hanya nama juga percuma, tak ada arti. Istilahnya GBHN (Guru Besar Hanya Nama, red).
Olahraga Maluku membutuhkan orang yang mau mengorbankan hartanya, dedikasinya dan totalitas pengabdiannya hanya untuk membangun olahraga. Artinya seseorang itu menjadi pengurus KONI Maluku bukan karena mencari pencitraan atau ada kepentingan lain selain kepentingan memajukan olahraga,” tegasnya sembari menambahkan status guru besar tak menjaminkan seseorang dalam menyerahkan totalitas hidupnya untuk kemajuan olahraga.
“Orang bilang kalau andalkan status Guru Besar, tapi masih harapkan anggaran penuh dari KONI Maluku juga percuma saja, karena orang papale ikan asar di pasar Mardika juga bisa bawa tim sepakbola. Pakai status Guru Besar tapi tak sportif jika dikritik media massa juga tak dipakai di olahraga Maluku,” sindirnya.
Dikatakan pula, penonjolan Guru Besar dalam olahraga menunjukan eksklusifitas diri jika praktisi olahraga tersebut hanya mengejar pencitraan, target tak jelas dan sama sekali tidak dengan ketulusan membangun olahraga.
“Kalau di kampus istilah Guru Besar itu wajar saja, tapi di olahraga yang menjadi Raja dan Ratu adalah atlet dan pelatih, bukan pengurus KONI. Pengurus KONI itu siapapun dia, profesor kek, doctor kek, Pegawai Negeri Sipil rendahan kek, pengurus cabor kek, semua adalah hamba atau pelayan dari atlet dan pelatih. Karena atlet dan pelatihlah seseorang bisa dipercayakan jadi pengurus KONI. Mengusung status Guru Besar adalah penonjolan budaya feodalistik yang masih dipertahankan segelintir elite di Maluku, padahal cara pandang itu sudah kuno dan ketinggalan zaman. Buktinya, Maluku masuk salah satu daerah dari 8 provinsi pembentuk NKRI (tahun 1945), tetapi bicara prestasi olahraga secara nasional, Maluku jauh tertinggal dibanding 33 provinsi lain. Penyebab utamanya karena penonjolan status akademis masih dikait-kaitkan di olahraga. Kecuali kalau kita bicara tentang sport science, dan itu konteksnya lain lagi” bandingnya.
Dalam kemelut kewenangan antara Asprov PSSI Maluku dengan Asosiasi Futsal Daerah (AFD) Maluku terkait pembentukkan tim bayangan futsal Pra PON Maluku, jelas Walalayo, harus dipertegas KONI Maluku.
“Kalau ada Guru Besar yang bilang seleksi pembentukkan tim siluman futsal Pra PON Maluku masih masuk ranah kewenangan Asprov PSSI Maluku itu keliru besar, sebab AFD Maluku secara vertikal sudah otonom setelah disetujuinya Asosiasi Futsal Indonesia dalam Kongres Nasional akhir tahun lalu. Memang dari sisi organisatoris, AFD masih berkoordinasi dengan Asprov PSSI Maluku, tetapi dalam kaitan dengan seleksi tim futsal Maluku murni merupakan kewenangan AFD Maluku dan bukan Asprov PSSI Maluku. Jadi kami lihat ada overlapping kewenangan oknum-oknum KONI Maluku dan Asprov PSSI Maluku dalam kisruh ini,” terangnya.
Walalayo berharap KONI Maluku tidak mengedepankan pendekatan pertemanan lantas menepikan aspirasi masyarakat olahraga agar pihak-pihak yang gagal membawa tim sepakbola Pra PON Remaja I/2014 tidak lagi dipercayakan menangani tim futsal Pra PON XIX/2015 Maluku.
“Kalau sudah gagal bawa tim Pra PON Remaja Maluku, ya kasih kesempatan untuk orang lain. Jangan punya kepentingan lalu bicara seenak perut,” cetusnya.
Sebelumnya Wakil Ketua Bidang Organisasi KONI Maluku 2013-2017 Jusuf Leiwakabessy menepis informasi yang seakan-akan menyebutkan ada perannya di balik pembentukkan tim siluman futsal Pra PON Maluku.
“Saya tidak membawa-bawa Guru Besar dalam persoalan ini, sebab tidak gampang seseorang itu memperoleh predikat profesor. Saya juga tidak punya ambisi tangani semua ini, sebab bikin capek saja, bikin rugi saja,” geram salah satu Komite Eksekutif Asprov PSSI Maluku 2014-2018. Leiwakabessy tak menyetujui sebutan ’tim siluman’ disematkan kepada tim futsal yang telah dibentuk Asprov PSSI Maluku itu. “Secara pribadi saya tak sepakat kalau tim yang ada disebut ’tim siluman’. Itu tim resmi karena dibentuk Asprov PSSI Maluku, dan menjadi kewenangan Asprov PSSI, bukan AFD Maluku,” pungkasnya dengan nada sedikit emosi. (mp 09/ros)