Pemkot Ambon Lestarikan Budaya “Timba Laor”

timba laor

Ambon, Maluku Post.com – Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon terus melestarikan budaya “timba laor” atau menangkap cacing laut (Lyde Oele) secara beramai-ramai.

“Tradisi timba laor terus dilestarikan hingga kini di kawasan pesisir Nusaniwe dan Leitimur Selatan, munculnya laor juga dipengaruhi siklus bulan dan matahari pada bulan Maret atau April, dan muncul hanya setahun sekali.

“Tradisi di Ambon laor muncul setiap bulan Maret atau April tetapi semua dipengaruhi cuaca dan kondisi air laut. Jika air pasang dan berwarna keruh maka laor akan muncul,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota Ambon, Henry Sopacua, Senin (22/2).

Ia mengatakan, tahun 2016 pihaknya telah menyiapkan konsep yang berbeda agar para wisatawan mancanegara maupun lokal dapat menyaksikan tradisi satu tahun sekali.

“Kita akan siapkan konsep yang berbeda dari tahun sebelumnya yakni tradisi dilakukan di dua lokasi, jika sebelumnya hanya fokus di Negeri Latuhalat tahun ini juga dilakukan di pesisir Leitimur,” katanya.

Menurut Henry, pesta budaya “Timba Laor” dikemas dalam bentuk seni, pertunjukan dan kuliner khas berbahan dasar cacing laor, sehingga menarik untuk dinikmati masyarakat dan wisatawan.

“Setelah menimba atau menangkap cacing laor beramai-ramai, maka warga secara berkelompok langsung memasak hasil tangkapannya dalam berbagai menu, untuk disajikan dan dimakan bersama-sama,” katanya.

Pihaknya juga akan mengundang sejumlah pengusaha restoran dan hotel untuk ikut menyaksikan pesta budaya tersebut sehingga menjadi inspirasi untuk menjadikan cacing laor sebagai salah satu menu istimewa untuk disajikan kepada wisatawan.

“Pesta budaya tahun ini menjadi titik awal untuk mengemas tradisi `Timba Laor` menjadi lebih menarik dengan berbagai kegiatan variatif, sehingga diharapkan dapat menjadi `event` tahunan yang banyak menyedot perhatian wisatawan dalam dan luar negeri untuk berkunjung ke Ambon pada bulan Maret-April setiap tahun,” katanya.

Laor adalah sejenis cacing laut dalam bahasa ilmiahnya Lycde Oele dan dari kelas Polychaeta Filum Analida, biasanya muncul saat purnama pasang tertinggi dan hanya muncul di daerah pantai berkarang.

Biota tersebut khas dan digemari oleh masyarakat Maluku karena kandungan protein yang lebih tinggi daripada ikan dan dapat diolah menjadi masakan tradisional dengan rasa gurih.

Musim panen laor sesungguhnya merupakan waktu kemunculan cacing dengan panjang 3-5 centimeter untuk melakukan pemijahan (spawning time).

Kegiatan timba laor di Indonesia hanya dilakukan di dua provinsi yakni Maluku dan Nusa Tenggara Barat (NTB) Kota Mataram.

“Di Mataram budaya timba laor yang disebut “Nyale” dilakukan setiap tahun dan menjadi atraksi budaya masyarakat setempat dan para wisatawan, sementara Maluku khususnya Ambon hanya dilakukan masyarakat setempat,” kata Henry Sopacua. (MP-4)

Pos terkait