Catatan Rudi Fofid-Ambon
Pela e
Katong bakumpul rame-rame
Lama-lama bar bakudapa, sioh
Sungguh manis lawang e
Pela e
Katong bakumpul rame-rame
Lama-lama bar bakudapa, sioh
Sungguh manis lawang e
Ayo pela e
Hidop orang basudara
Antar gandong, antar suku, deng agama e
Pela e, manis lawang e
Ina-ama punya mau, sioh
Katong hidup bae-bae
Biar jauh sini-sana, pela e
Katong laeng sayang laeng
(Lagu “Pela” karya Christian Izaac Tamaela)
Jakarta, 1995. Dari kantor surat kabar harian sore Suara Pembaruan di Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, saya naik taksi. Saya mendapat tugas meliput Asian Culture and Education Expo di Jakarta Conventional Center (JCC). Sepanjang jalan, saya coba menerka, apa saja yang ada di dalam expo. Saya bayangkan pameran internasional yang kontennya pendidikan dan kebudayaan.
Begitu memasuki arena JCC, mata saya tertuju pada puluhan monitor yang disusun-susun. Semua monitor menampilkan gambar yang sama. Para remaja Jakarta dengan seragam putih abu-abu berkerumun di depan monitor. Mereka bertepuk tangan saat semua monitor kecil itu, tiba-tiba menjelma menjadi satu monitor raksasa.
Saya ikut berdiri di belakang para siswa yang sedang gandrung dengan kemajuan teknologi komputer. Tiba-tiba, rombongan pelajar Jakarta itu bergerak. Mereka berebutan ke arah sebuah bunyi. Saya ikut juga bergerak sebab bunyi tersebut sangat akrab di telinga.
Oh, mama. Totobuang sedang dimainkan oleh sosok yang saya kenal sebagai penulis lagu “Pela” yakni Pendeta Christian Tamaela. Pak Kres, begitu orang menyebutnya.
Saya berdiri berdesak-desakan dengan anak-anak muda Jakarta yang nampak antusias ketika Pak Kres kemudian mengambil suling bambu, meniupnya dengan nada-nada tinggi. Ia mengambil kleper, dan memainkannya dengan jemari. Setelah itu, dua ruas bambu diketuk-ketuk ke lantai. Sekali-kali, dengan lima jari, ia membelai susunan batu karang laut yang digantung di tali.
“Perkusinya keren yah,” kata seorang anak SMA kepada rekannya.
Pak Kres dengan balutan busana tarian cakalele merah-merah, kain berang di kepala, sudah mandi keringat setelah tubuhnya meliuk-liuk di depan totobuang. Begitu Pak Kres berhenti beraksi, para pelajar Jakarta “menjerit”.
“Yaaaaa! Lagi, Om!” Seru seorang anak.
“Saya istirahat sebentar. Sebagai ganti, anak-anak bisa menyaksikan yang ini,” kata Pak Kres sambil memutar video konser musik bambu yang dimainkan para musisi yakni mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKIM) Ambon. Anak-anak muda Jakarta menyaksikan penuh antusias.
Ternyata, beberapa dosen Universitas Pattimura juga ada di situ. Saya tengok ke “stand” Maluku. Ada toples-toples bekas selei, berisi sampel rumput laut kering. Tidak lebih dari sepuluh toples. Ada juga beberapa kulit kerang. Di sebelahnya, ada toples juga, berisi ratusan anakan pisang yang baru setinggi 2 cm. Ini adalah hasil kultur jaringan.
Tidak ada satu pengunjung yang tertarik melihat bahan pameran dari Maluku. Bayangkan pisang dalam toples kecil, juga dipamerkan oleh IPB tak jauh dari situ. Bedanya, sekitar 9 sampai 16 toples berisi anakan pisang, berada dalam keadaan dinamis. Ada motor penggerak yang membuat koleksi kultur jaringan itu terus bergoyang maju-mundur, dan menarik mata siapa saja.
Tidak jauh dari situ, ada akuarium sekitar 3 x 3 meter. Ada air bening, pasir di dasarnya, rumput lamun nan hijau tumbuh di dasarnya. Ada karang muda, ikan-ikan kecil berenang. Pusat perhatian orang tertuju pada kima raksasa dengan cangkang yang sedang membuka. Pengunjung berkerumun di sini. Seorang dosen Universitas Hasanuddin Makassar sibuk memberi penjelasan kepada pengunjung.
Untung ada Pak Kres dengan musik etnik, batu, bambu, kayu, tifa, totobuang yang mampu menyedot pehatian para pelajar dan pengunjung di metropolitan Jakarta.
“Ternyata, anak muda Jakarta di tengah kegandrungan pada teknologi komputer, masih suka pada hal yang berbau etnik,” kata saya usai menyalami Pak Kres.
“Tergantung bagaimana mengemasnya,” kata Pak Kres.
Inilah percakapan kecil yang pertama kali saya lakukan dengan Pak Kres. Setelah saya kembali ke Ambon, pada banyak kesempatan kesenian maupun kegiatan ilmiah, saya bisa lebih banyak berjumpa dan berdiskusi dengan sosok “spektakuler” yang sederhana ini.
Terakhir, saya duduk satu meja dengan Pak Kres dan musisi Rence Alfons dalam FGD di Universitas Pattimura untuk rencana pembukaan Fakultas Seni-Budaya. Waktu itu, saya menyatakan tidak terlalu setuju dengan rencana mulia itu. Saya usul, FKIP harus dikembangkan sehingga guru-guru musik lahir dari FKIP Unpatti, demi memenuhi kebutuhan guru musik di SD sampai SMA.
Dari sekian banyak perjumpaan, saya punya dua kenangan sepat-getir, pahit sekaligus manis, dengan Pak Kres. Tidak saya sangka, seorang pendeta, doktor, ahli musik, bisa curah perasaan lalu menangis di hadapan saya secara pribadi. Pertama, air matanya tumpah di Ngilngof, Maluku Tenggara, dan kedua, Pak Kres menangis di Tuhaha, Saparua. (Bersambung ke bagian 2)