Laporan Rudi Fofid – Ambon
Malukupost.com – Tugu Doolan di Kudamati, Ambon, menyimpan cerita heroik. Seorang sukarelawan Australia berusia 29 tahun, melakukan aksi solo menghadang pasukan Jepang. Walau akhirnya tewas, dia berjasa melindungi pasukan Australia yang mundur ke wilayah Gunung Nona.
Sang pemberani itulah William Thomas Doolan alias Bill Doolan. Lahir 15 Januari 1913 di Werribee, Wyndham City, Negara Bagian Victoria, Australia. Ayahnya Thomas Doolan dan ibunya Emily Doolan.
Pada tahun 1920-an, keluarganya pindah ke Morwell di Gippsland, Victoria. Belakangan, setelah menikah, Bill Doolan pindah ke Melbourne, tinggal di Hawthorn bersama istrinya Kathleen dan dua puterinya June dan Wendy yang masih kecil.
Keluarga kecil itulah yang dia tinggalkan, saat usianya 27 tahun. Bill menjadi relawan perang dan masuk dalam Australian Imperial Force (AIF), terdaftar 11 Juli 1940. Dia masuk dalam Batalion Infantri 2/21, bagian dari Gull Force yang legendaris.
Di Ambon, Bill Doolan bersama sejumlah relawan berada di bawah komando Sersan Jack O’Brien. Di sinilah tugas Bill Doolan di bagian mobilisasi pasukan, sebagai pengemudi angkutan.
Ada banyak cerita tentang heroisme Bill Doolan sebelum tewas di lokasi yang sekarang dijadikan Tugu Doolan. Cerita pun bervariasi. Sekalipun demikian, dari berbagai sumber yang dikumpulkan Media Online Maluku Post, semua mengakui Bill Doolan adalah pejuang yang gagah berani.
“Doolan seorang gagah berani. Dia seorang diri melawan banyak tentara Jepang, sehingga pasukan kami bisa selamat ke Gunung Nona,” kata Komandan Gull Force Rod Gabriel, dalam suatu wawancara di Hotel Mutiara Ambon tahun 1994.
Demikian pula Lionel James Penny alias Mr Papaya. Lionel adalah anggota pasukan Gull Force terakhir yang datang ke Ambon tahun 2009. Seluruh veteran Ambon lainnya sudah tutup usia. Kepada wartawan saat berkunjung ke Leahary, Lionel juga bercerita tentang jasa Doolan menahan pasukan Jepang, sehingga pasukan Gull Force lainnya bisa menyelamatkan diri.
Kisah heroisme Bill Doolan diawali dengan situasi hari Sabtu, 31 Januari 1942. Saat itu, Ambon sudah jadi medan tempur, penuh teror bom. Satu unit tentara Jepang sudah kuasai Passo. Batalyon III menduduki Kota Ambon dan Batalyon I menyerang sekitar Gunung Sirimau. Ledakan terdengar juga di Laha, sampai Amahusu. Jepang menguasai wilayah pantai, sedangkan pasukan Sekutu bertahan di wilayah pegunungan.
Jepang berhasil membuat Pasukan Sekutu yaitu Belanda dan Australia kocar-kacir. Sekutu mundur ke wilayah selatan Ambon. Komandan Detasemen Timur Mayor Jenderal Ito Takeo optimis mengalahkan Sekutu dalam sehari. Dia perintahkan unit penyerang kiri melanjutkan pergerakannya pagi itu.
Hari Minggu, 1 Februari 1942, hari masih subuh. Jepang bergerak dan berhasil merebut Kamp Belanda di Soya. Setelah ini, Batalyon 1 memasuki sudut tenggara Ambon lalu berbelok ke selatan melanjutkan aksi.
Komandan Perbatasan Nishiyama maju ke garis depan di jalan pantai. Ia mengerahkan Kompi-9 sebagai bala bantuan sepanjang jalan. Tujuannya menguasai daerah tersebut. Operasi penumpasan Ambon oleh Jepang terhadap Pasukan Sekutu dilakukan oleh Kompi-9 dengan Peleton Pertama Kawake sebagai cadangan, menuju barat daya di sepanjang garis pantai teluk. Urutannya Peleton II Koseki, Peleton III Muto, lalu Pasukan Komando Shirai.
Mereka menemukan beberapa pasukan Sekutu yang tersisa. Untuk menyerang sisa pasukan Sekutu, pasukan memotong perkebunan di sebelah kanan jalan dan mencapai daerah berumput agak tinggi. Dengan pasukan komando dikerahkan ke tengah, Peleton III di kanan, dan Peleton II di kiri. Unit tersebut maju ke dataran tinggi. Inilah wilayah Batu Gantung – Kudamati.
Ketika berada 200-300 meter, tiba-tiba mereka diserang senapan mesin Bren, ditembakkan secara tersembunyi pada jarak cukup dekat. Serangan inilah diyakini sebagai aksi tunggal Bill Doolan.
Akibat serangan itu, Komandan Peleton Muto dan Kopral Kondo tewas. Gerak maju pasukan Jepang tertahan di sini. Bill Doolan tidak terlihat di mana pun. Tidak ada gerakan samar untuk membidiknya. Pasukan \Jepang ditembaki selama beberapa jam di area terbuka, dan tidak mungkin menolong korban yang sudah gugur.
Pemimpin Peleton Koseki berhasil pindah ke pepohonan di sebelah kiri. Ia maju dengan cepat ke sisi-sisi musuh untuk mencoba menghancurkan dalam satu gerakan. Saat Pasukan Kamiya sedang memposisikan senapan mesin ringan di tepi pepohonan, menjadi sasaran tembakan dari tempat tersembunyi. Prajurit Jepang Sugiyama Kyoichi, dan prajurit superior Ando Hisayoshi, dan Handa Goichi gugur di situ.
Komandan peleton segera memerintahkan Isaji dari regu peluncur granat menyerang. Serangan inilah yang menyebabkan tembakan dari tempat tersembunyi itu berhenti sama sekali. Doolan diyakini tewas akibat serangan ini.
BERBAGAI KESAKSIAN
Departemen Pertahanan Australia, Pengadilan Negeri, maupun puteri Bill Doolan melakukan investigasi ke Ambon, sumber Jepang, maupun Belanda, untuk mengungkap, apa sebenarnya yang terjadi pada pagi subuh di Kudamati-Batugantung ini.
June Threadwell dan Wendy Doolan, kedua puteri Bill Doolan mengumpulkan informasi mengenai ayah mereka, justru setelah puluhan tahun berlalu. June datang tahun 1990an ke Ambon. Ia bertemu dengan bekas tentara Belanda bernama Paul Kastanya, yang mengenal Bill Doolan di Ambon.
Menurut June, berdasarkan pengakuan Paul Kastanya, diketahui jenasah ayahnya Bill Doolan dimakamkan oleh Paul Kastanya dan seorang kawan. Keduanya membuat makam, tiga hari setelah Bill Doolan tewas. Letak makam di bawah pohon gandaria, dekat saja dengan lokasi penembakan.
June juga membuat kesaksian, bahwa sesuai keterangan Kastanya, hari itu Paul Kastanya dan Eben Haezer Huwae datang dari Gunung Nona. Keduanya menemukan jenasah Doolan bersama-sama dengan sejumlah jenasah tentara Jepang.
Aksi heroik Doolan ini disaksikan seorang bocah berusia 8 tahun bernama Job Lekatompessy. Dia menjadi satu-satunya saksi mata atas peristiwa itu. Menurut Job, dia menyaksikan Doolan dengan senjata api menembak ke arah pasukan Jepang yang jumlahnya sangat banyak.
Job mengaku mengenal Doolan yang sering datang ke rumahnya, sebelum pasukan Jepang tiba di Ambon. Dia sendiri tidak bisa memastikan berapa jumlah pasukan Jepang.
“Doolan panjat pohon dengan senjata api. Pohon terletak di lereng. Tentara Jepang datang dengan truk, tetapi berkali-kali ditembak dan tidak bisa maju. Orang mati seperti batu di kali,” kata Job dalam sebuah wawancara dengan penulis Pat Burgess .
Job juga menjelaskan, sebelum Jepang datang dalam jumlah yang banyak, Doolan sempat datang ke rumahnya. Doolan mampir dengan dua kawan, dengan botol minuman ringan di tangan. Dia pinjam pembuka botol. Tiba-tiba tentara Jepang datang dalam jumlah banyak dengan dua truk.
“Doolan berkata pada dua temannya. ‘Kamu pergi!’ Mereka meninggalkannya dan pergi ke atas bukit . Saat itu tidak ada seorang pun di sana kecuali kami. Jepang menyebar dan mendaki lereng,” kata Job lagi.
ANAK YATIM
Puteri bungsu Bill Doolan, yakni Wendy Doolan mengaku baru berusia delapan bulan ketika ayahnya tewas di Ambon. Sebab itu, dia tidak punya kenangan dengan ayahnya. Sebuah jalan di Box Hill South Resident diberi nama Jalan Doolan, tetapi dia tidak pernah tahu, mengapa nama Doolan ada di situ.
Kepada penulis Anne Simmons dari www.latrobevalleyexpress.com.au, Wendy menyebutkan, Bill Doolan pernah bekerja sesaat dengan orang tuanya di toko daging. Ibunda Bill meninggal dunia akibat pandemi flu dalam perang dunia II.
Wendy mengaku, sampai usia 20 tahun barulah dia tahu, Gerald Michael O’Connell yang menikahi ibunya, bukanlah ayah kandung melainkan ayah tiri. Tidak ada yang menjelaskan sejak dia masih kecil.
Saudara kandung Wendy yakni June Treadwell sudah dua kali ke Ambon untuk mencari tahu bagaimana kisah akhir hidup ayah mereka. Apalagi, June sekarang sudah berusia 80 tahun.
“Kasihan, dia sudah terlambat 40 tahun untuk memulai pencaharian informasi tentang ayah kami, Bill Doolan,” kata Wendy kepada Anne Simmons, dalam satu wawancara tahun 2018.
Menurut Wendy, ayahnya punya seorang saudara kandung bernama Hilda. Hilda punya hanya sedikit kenangan dengan Bill Doolan karena Bill ikut perang dan tewas di Ambon.
Wendy pernah datang ke Ambon tahun 1981. Ia bercerita pernah bertemu Paul Kastanya di Ambon. Paul Kastanya memiliki seorang anak lelaki yang diberi nama Doolan, terinspirasi dari heroisme Bill Doolan.
“Tujuh tahun kemudian saya kembali ke Ambon. Doolan Kastanya sudah punya anak perempuan, diberi nama Wendy, sama dengan nama saya. Sioh, sayang e!” Pungkas Wendy.
Makam Doolan sudah dipindahkan tahun 1946 ke Taman Makan Pesemakmuran di Tantui. Di atas prasastinya tertulis: Dearly loved husband of Kathleen, a father who loved his children, June and Wendy. “Suami Kathleen tercinta, seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, June dan Wendy”.
(Malukupost.com/Sumber teks dan foto: www.heraldsun.com.au/ www.latrobevalleyexpress.com.au/ www.gippsanglican.org.au/ https://defence-honours-tribunal.gov.au/ https://www.cwgc.org)