Oleh Falantino Eryk Latupapua
Siapa tidak senang melihat lampu natal yang berpendaran, miniatur tongkat Santa Claus yang kemilau di pengkolan jalan, dan bola-bola bolham kekuningan yang berpijar dari sisi ke sisi jalan raya? Beberapa orang menunjukkan ekspresi bahagia tatkala perangkat audio dari angkot-angkot menyetel lagu legendaris O Holy Night milik Mariah Carey dengan puncak notasi yang melengking: Merdu, teknis, tetapi dengan volume yang keterlaluan dan terasa sangat menyiksa. Semua orang di kota ini sudah akrab dengan berbagai istilah yang diproduksi dan diwariskan selama puluhan tahun lalu, yang seakan menegaskan bahwa perayaan Natal di kota ini adalah salah satu yang terbaik di dunia. Bagi sebagian besar warga kota ini, bulan ber-ber adalah rentang masa paling indah dan mengesankan sepanjang tahun berjalan. Suasana Natal dibangun pelan-pelan, indah, dan syahdu. Semua yang sedang berjibaku di rantau harus bergegas pulang meski dengan dana terbatas. Segala yang indah dan bagus dipoles sebagai tindakan representatif bahwa Natal selalu adalah perayaan sukacita yang wajar-wajar saja kalau dibungkus dengan hedonisme dan komodifikasi yang begitu banal, buas, tetapi semakin hari semakin dirayakan sebagai kesadaran bersama yang biasa dan diterima begitu saja.
Baiklah. Tampaknya kita perlu sejenak mengingat bahwa ada satu wacana yang ambivalen yang bergaung tiap tahun dalam berbagai khotbah di mimbar gereja atau pesan dan kesan Natal berbunga-bunga dari pejabat rendah hingga yang tinggi, yakni kesederhanaan. Dalam pengalaman saya menjadi penyanyi dalam ibadah minggu di gereja, inilah wacana yang setiap tahun tampil dalam derajat pragmatisme yang cukup memalukan: Digunakan sekaligus dilanggar. Beberapa langkah dari situs-situs yang digunakan oleh kekuasaan untuk tampil seperti malaikat, kesederhanaan itu menguap menjadi retorika, menyembunyikan borok-borok di balik mistletoe plastik, lampu mati-manyala massal, kembang api berharga ratusan juta, dan miniatur menara (Eiffel?) yang dipenuhi anak-anak muda yang berswafoto untuk diunggah ke instragram dengan senyum sumringah, perasaan syukur tentang kepedulian para pemimpin terhadap kebahagiaan warganya. Dalam Sajak 1990, Rendra dengan keras menulis:
………………
di rumah ibadah orang nerocos menghapal dan di kampung
menjadi pembenci yang tangkas membunuh dan membakar.
Para birokrat sakit tekanan darah sibuk menghapal dan menjadi radio.
Kenapa pembangunan tidak berarti kemajuan ?
Kenapa kekayaan satu negara membuahkan kemiskinan negara tetangganya
Peradaban penumpukan tak bisa dipertahankan, lihatlah
kemacetan, polusi, dan erosi .
Apa artinya tumpukan kekuasaan bila hidupmu penuh curiga dan takut diburu dendam. Apa artinya tumpukan kekayaan bila bila bau busuk kemiskinan menerobos jendela kamar tidurmu . Isolasi hanya melahirkan kesendirian tanpa keheningan .
Luka orang lain adalah lukamu juga!
……………….
Tampaknya, Natal memang sudah menjadi memori kosmopolitan, apa yang disebut oleh Levy dan Sznaider sebagai memori transnasional yang mencerminkan bagaimana masyarakat mengingat apa yang harus dibangun sebagai masa depan bersama. Jika perayaan Natal adalah masa depan itu, maka memori kolektif kosmopolitan kita adalah menjadikan Natal sebagai wacana yang ambivalen. Sederhana, khidmat, syahdu di gereja melalui lagu-lagu dan cerita gembala, pada saat yang bersamaan, hedonis oleh pesta-pora yang menghasilkan orang-orang yang terhuyung-huyung dikuasai alkohol, dibingkai sebagai perayaan sukacita dan syukur. Suara-suara yang terdengar dari posisi ambivalensi ini menjadi kompleks dan tidak jelas. Seseorang bisa berkhotbah tentang gembala yang sederhana namun di waktu lain lain turut terlibat menggelapkan dana jemaat. Seseorang lain bicara tentang cinta kasih dan keprihatinan terhadap situasi dunia tetapi pada kesempatan lain melanggar apa yang ia artikulasikan sendiri.
Mungkin tidak ada yang salah dengan ini semua. Beberapa orang menyebutnya sebagai konsekuensi yang wajar karena dunia yang makin kapitalistik. Kapitalisme adalah hantu yang sulit dilawan dengan cara terang-terangan, baik dengan kapital itu sendiri maupun dengan isu-isu moral yang romantik. Bagi saya, apa yang saya sebut anomali dalam konteks tulisan ini adalah preseden negatif pada situasi mental masyarakat yang tidak menyadari adanya operasi dan relasi kekuasaan yang membunuh nalar dan menyempitkan cara pandang. Alangkah berbahayanya jika mayoritas orang menganggap bahwa apa saja bisa ditiru, artikulasi bisa bergaung lalu kemudian dimentahkan sendiri, dan semuanya wajar dan biasa saja. Lebih lagi, alangkah banalnya jika oleh karena itu semua muncul sikap nyinyir dan stigma terhadap mereka yang merayakan dengan cara biasa, tidak dengan gemerlap, sebagai liyan yang marjinal, tidak keren, sunyi, dan kampungan.
Bagaimanapun juga, di tengah dunia yang semakin nirbatas, setiap orang merasa memiliki kemutlakan dalam memilih cara untuk merayakan sesuatu. Dunia kita memang penuh dengan, dan dikonstruksi oleh, simbol-simbol. Masyarakat harus menjadi modern dengan tanpa kecuali. Apapun bisa menjadi media, menjadi wacana. Akan tetapi, penting bagi kita untuk memelihara otentisitas dan membangun kesadaran kritis, tidak untuk melawan semua yang telah lama dihayati secara komunal dalam bingkai keindahan dan persaudaraan yang universal, tetapi untuk menciptakan keseimbangan dan memelihara kewarasan. Bagaimanapun juga, institusi moral seperti gereja dan pemerintah tetap harus memelihara muruahnya sebagai penjaga keseimbangan, sebagaimana yang selama ini digaungkan, bukan mendestruksi dan membalikkan operasinya dalam bingkai-bingkai pragmatis. Kemurnian yang dibingkai dalam pragmatisme pada ujungnya akan melanggengkan inotentisitas, memelihara kepalsuan, serta memupuk sikap, yang disebut oleh Koentjaraningrat sebagai suka menerabas, sebagaimana yang ditunjukkan melalui dibangunnya miniatur menara di rumah dinas wali kota. Apa hubungannya Natal, Menara Eiffel, dan kita?
Penulis adalah seniman dan staf pengajar di Universitas Pattimura, Ambon.